Program Beras Raskin, Gastro-Kolonialisme di Papua - Explore Kwaya
Selamat Datang di Blog Explore Kwaya

Friday, September 20, 2024

Program Beras Raskin, Gastro-Kolonialisme di Papua

 

Foto Pj. Bupati Puncak, Nenu Tabuni Bersama Masyarakat Agandugume Dalam Kujungan Kerjanya Pada Jumat (20/08/2024)

Gastro-Kolonialisme adalah istilah yang mengacu pada pengaruh budaya kuliner yang mengubah pola makan lokal akibat intervensi luar, sering kali melalui kebijakan pemerintah. Di Papua, salah satu contoh nyata dari gastro-kolonialisme dapat dilihat melalui program pemerintah yang dikenal sebagai Beras Raskin (Rakyat Miskin).


Program ini bertujuan untuk menyediakan beras murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, namun dampaknya terhadap budaya makanan lokal dan pola makan masyarakat Papua patut dicermati. Dalam konteks ini, penting juga untuk memahami bagaimana pasca kolonialisme bangsa Eropa berpengaruh terhadap pola pikir dan kebijakan yang diambil oleh negara-negara yang pernah dijajah.


Program Beras Raskin diluncurkan sebagai upaya untuk mengurangi angka kemiskinan dan memastikan ketahanan pangan di Indonesia. Di Papua, di mana banyak masyarakat masih mengandalkan sumber pangan lokal seperti sagu, umbi-umbian, dan hasil laut, pengenalan beras sebagai makanan pokok memiliki implikasi yang lebih dalam. Dalam konteks ini, beras bukan hanya sekadar bahan makanan, tetapi juga simbol dari dominasi budaya luar (Sukardi, 2018).


Dampak Sosial dan Budaya. Perubahan Pola Makan. Dengan akses yang lebih mudah terhadap beras, masyarakat Papua mulai mengubah pola makan mereka, beralih dari makanan lokal ke beras. Ini mengakibatkan pengurangan konsumsi sagu dan pangan lokal lainnya, yang merupakan bagian integral dari identitas kuliner Papua (Mulia, 2020).


Pengaruh Ekonomi, Program ini juga mempengaruhi ekonomi lokal. Ketergantungan pada beras yang diimpor mengurangi permintaan terhadap produk lokal, yang pada gilirannya dapat membahayakan mata pencaharian petani lokal (Hidayat, 2019).


Pergeseran Identitas Kuliner, Identitas kuliner Papua yang kaya dan beragam mulai pudar. Makanan tradisional yang sarat dengan nilai budaya dan sejarahnya terancam tergantikan oleh pola makan yang lebih homogen, yang didominasi oleh beras dan makanan olahan (Lestari, 2021).


Pasca kolonialisme, banyak bangsa yang pernah dijajah oleh negara Eropa mengalami perubahan besar dalam struktur sosial, budaya, dan ekonomi. Pengaruh kolonial yang masih terasa sering kali menciptakan ketergantungan pada produk-produk luar, termasuk makanan. Dalam konteks Indonesia, termasuk Papua, pola pikir yang terbentuk selama masa kolonial sering kali melanjutkan dominasi budaya asing (Hassan, 2017).


Keterhubungan dengan Budaya Global, Banyak negara bekas jajahan yang, setelah merdeka, mencoba mengadopsi elemen-elemen budaya dari negara-negara barat sebagai simbol modernitas. Hal ini berkontribusi pada pengabaian budaya lokal, termasuk dalam hal makanan (Sari, 2020).


Kebijakan Pangan, Kebijakan pemerintah yang lebih memilih produk luar untuk memenuhi kebutuhan dasar dapat dipandang sebagai lanjutan dari praktik kolonial. Ini menciptakan ketergantungan yang tidak sehat dan mengancam keberlanjutan ekonomi dan budaya lokal (Prabowo, 2022).

 

Tantangan dan Kesempatan

Meskipun program Beras Raskin memiliki tujuan yang baik, tantangan besar tetap ada. Salah satu tantangan utama adalah bagaimana mempertahankan keberagaman makanan lokal sambil memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Kesempatan untuk mengintegrasikan pangan lokal ke dalam program pemerintah bisa menjadi solusi. Misalnya, memperkenalkan kampanye yang mengedukasi masyarakat tentang pentingnya mengonsumsi pangan lokal sebagai bagian dari diet seimbang (Rizki, 2019).


Kesimpulan

Gastrokolonialisme di Papua melalui program Beras Raskin menunjukkan bagaimana intervensi pemerintah dalam penyediaan pangan dapat membawa dampak yang kompleks. Dalam konteks pasca kolonialisme, pengaruh budaya luar masih sangat kuat, menciptakan tantangan bagi keberlanjutan budaya dan ekonomi lokal. Untuk menjaga keberagaman budaya dan kuliner Papua, penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan pendekatan yang lebih inklusif, yang tidak hanya menyediakan pangan tetapi juga melestarikan dan merayakan kekayaan kuliner lokal. Dengan demikian, masyarakat Papua dapat terus mempertahankan identitas mereka sambil memenuhi kebutuhan dasar dalam konteks yang lebih luas.

 

Referensi

- Hassan, R. (2017). Postcolonial Influences on Food Practices in Indonesia. Jakarta: Pustaka Alvabet.

- Hidayat, A. (2019). Economic Impacts of Food Dependency in Papua. Journal of Indonesian Economics, 15(2), 45-60.

- Lestari, D. (2021). Culinary Identity in Papua: A Cultural Study. Yogyakarta: CV. Literasi.

- Mulia, S. (2020). The Shift of Local Food Consumption in Papua. Indonesian Journal of Cultural Studies, 8(1), 12-23.

- Prabowo, T. (2022). Food Policy and Colonial Legacy in Indonesia. Surabaya: Media Scholastica.

- Rizki, M. (2019). Integrating Local Food into the National Program: Opportunities and Challenges. Journal of Agricultural Policy, 7(3), 88-101.

- Sari, R. (2020). Modernization and Its Impact on Local Cultures in Indonesia. Bandung: Taruna Bakti.

- Sukardi, J. (2018). Beras Raskin: A Case of Food Colonialism in Indonesia. Journal of Southeast Asian Studies, 29(4), 112-130.