Program Beras Raskin, Gastro-Kolonialisme di Papua
![]() |
Foto Pj. Bupati Puncak, Nenu Tabuni Bersama Masyarakat Agandugume Dalam Kujungan Kerjanya Pada Jumat (20/08/2024) |
Gastro-Kolonialisme
adalah istilah yang mengacu pada pengaruh budaya kuliner yang mengubah pola
makan lokal akibat intervensi luar, sering kali melalui kebijakan pemerintah.
Di Papua, salah satu contoh nyata dari gastro-kolonialisme dapat dilihat melalui
program pemerintah yang dikenal sebagai Beras Raskin (Rakyat Miskin).
Program ini bertujuan
untuk menyediakan beras murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, namun
dampaknya terhadap budaya makanan lokal dan pola makan masyarakat Papua patut
dicermati. Dalam konteks ini, penting juga untuk memahami bagaimana pasca kolonialisme
bangsa Eropa berpengaruh terhadap pola pikir dan kebijakan yang diambil oleh
negara-negara yang pernah dijajah.
Program Beras Raskin
diluncurkan sebagai upaya untuk mengurangi angka kemiskinan dan memastikan
ketahanan pangan di Indonesia. Di Papua, di mana banyak masyarakat masih
mengandalkan sumber pangan lokal seperti sagu, umbi-umbian, dan hasil laut,
pengenalan beras sebagai makanan pokok memiliki implikasi yang lebih dalam.
Dalam konteks ini, beras bukan hanya sekadar bahan makanan, tetapi juga simbol
dari dominasi budaya luar (Sukardi, 2018).
Dampak Sosial dan Budaya.
Perubahan Pola Makan. Dengan akses yang lebih mudah terhadap beras, masyarakat
Papua mulai mengubah pola makan mereka, beralih dari makanan lokal ke beras.
Ini mengakibatkan pengurangan konsumsi sagu dan pangan lokal lainnya, yang
merupakan bagian integral dari identitas kuliner Papua (Mulia, 2020).
Pengaruh Ekonomi, Program
ini juga mempengaruhi ekonomi lokal. Ketergantungan pada beras yang diimpor
mengurangi permintaan terhadap produk lokal, yang pada gilirannya dapat
membahayakan mata pencaharian petani lokal (Hidayat, 2019).
Pergeseran Identitas
Kuliner, Identitas kuliner Papua yang kaya dan beragam mulai pudar. Makanan
tradisional yang sarat dengan nilai budaya dan sejarahnya terancam tergantikan
oleh pola makan yang lebih homogen, yang didominasi oleh beras dan makanan
olahan (Lestari, 2021).
Pasca kolonialisme,
banyak bangsa yang pernah dijajah oleh negara Eropa mengalami perubahan besar
dalam struktur sosial, budaya, dan ekonomi. Pengaruh kolonial yang masih terasa
sering kali menciptakan ketergantungan pada produk-produk luar, termasuk makanan.
Dalam konteks Indonesia, termasuk Papua, pola pikir yang terbentuk selama masa
kolonial sering kali melanjutkan dominasi budaya asing (Hassan, 2017).
Keterhubungan dengan
Budaya Global, Banyak negara bekas jajahan yang, setelah merdeka, mencoba
mengadopsi elemen-elemen budaya dari negara-negara barat sebagai simbol
modernitas. Hal ini berkontribusi pada pengabaian budaya lokal, termasuk dalam
hal makanan (Sari, 2020).
Kebijakan Pangan,
Kebijakan pemerintah yang lebih memilih produk luar untuk memenuhi kebutuhan
dasar dapat dipandang sebagai lanjutan dari praktik kolonial. Ini menciptakan
ketergantungan yang tidak sehat dan mengancam keberlanjutan ekonomi dan budaya
lokal (Prabowo, 2022).
Tantangan dan Kesempatan
Meskipun program Beras
Raskin memiliki tujuan yang baik, tantangan besar tetap ada. Salah satu
tantangan utama adalah bagaimana mempertahankan keberagaman makanan lokal
sambil memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Kesempatan untuk mengintegrasikan
pangan lokal ke dalam program pemerintah bisa menjadi solusi. Misalnya,
memperkenalkan kampanye yang mengedukasi masyarakat tentang pentingnya
mengonsumsi pangan lokal sebagai bagian dari diet seimbang (Rizki, 2019).
Kesimpulan
Gastrokolonialisme di
Papua melalui program Beras Raskin menunjukkan bagaimana intervensi pemerintah
dalam penyediaan pangan dapat membawa dampak yang kompleks. Dalam konteks pasca
kolonialisme, pengaruh budaya luar masih sangat kuat, menciptakan tantangan
bagi keberlanjutan budaya dan ekonomi lokal. Untuk menjaga keberagaman budaya
dan kuliner Papua, penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan pendekatan
yang lebih inklusif, yang tidak hanya menyediakan pangan tetapi juga
melestarikan dan merayakan kekayaan kuliner lokal. Dengan demikian, masyarakat
Papua dapat terus mempertahankan identitas mereka sambil memenuhi kebutuhan
dasar dalam konteks yang lebih luas.
Referensi
- Hassan, R. (2017). Postcolonial
Influences on Food Practices in Indonesia. Jakarta: Pustaka Alvabet.
- Hidayat, A. (2019). Economic
Impacts of Food Dependency in Papua. Journal of Indonesian Economics, 15(2),
45-60.
- Lestari, D. (2021). Culinary
Identity in Papua: A Cultural Study. Yogyakarta: CV. Literasi.
- Mulia, S. (2020). The
Shift of Local Food Consumption in Papua. Indonesian Journal of Cultural
Studies, 8(1), 12-23.
- Prabowo, T. (2022). Food
Policy and Colonial Legacy in Indonesia. Surabaya: Media Scholastica.
- Rizki, M. (2019). Integrating
Local Food into the National Program: Opportunities and Challenges. Journal of
Agricultural Policy, 7(3), 88-101.
- Sari, R. (2020). Modernization
and Its Impact on Local Cultures in Indonesia. Bandung: Taruna Bakti.
- Sukardi, J. (2018). Beras
Raskin: A Case of Food Colonialism in Indonesia. Journal of Southeast Asian
Studies, 29(4), 112-130.