PEMERINTAH, DAP, DGP DAN PARA ELIT SEGERA MEMFASILITASI MASALAH SENGKETA TANAH ADAT DI NABIRE DAN WAMENA YANG BERPOTENSI KONFLIK PERANG SUKU
Pendahuluan
Pemerintah Pusat Republik Indonesia melalui (DPR-RI) Dewan Perwakilan Rakyat bersama elit-elit lokal Papua melakukan perubahan (UU) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Salah satu hasil produknya adalah
pemekaran (DOB) Daerah Otonomi Baru karena dianggap lex specialis bagi provinsi
Papua sehingga dimekarkan DOB menjadi empat provinsi baru sekaligus yakni:
Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Barat Daya dan Papua Pegunungan ditambah dua
provinsi induk yakni: Papua dan Papua Barat di bumi cendrawasih itu.
Provinsi PapuaPegunungan (PP) dimekarkan hingga kini rakyat Papua di Kabupaten Jayawijaya
Distrik Wouma dan Walesi diperadapkan dengan pelepasan lahan mereka untuk
membangun kantor pusat pemerintahan provinsi PP sehingga terjadi polemik narasi
pro kontra pemberian dan penolakan lahan kepada pemerintah provinsi PP untuk
membangun pusat pemerintahan dan terkesan pemerintah tidak memperdulikan nasib
rakyat Papua yang kontra dengan kehadiran pembangunan kantor pemerintahan
provinsi PP di lahan mereka.
Sebab lahan
tersebut sejak dahulu hingga sekarang menjadi hak sulung mereka, hidup-mati,
beranak-pinak di sana, berkebun, bercocok tanam dan satu-satunya lahan garapan
rakyat, sumber kehidupan, kekayaan yang mereka miliki. Rakyat diperdapkan pada
pilihan, dilematis antara tidak menyerahkan kepada pemprov. atau menyerahkan
atas nama pembangunan secara bersamaan akan kehilangan hak sulung mereka,
dialihfungsikan lahan garapan rakyat menjadi pusat pemerintahan, pemilik hak
wulayat kehilangan sumber kehidupan dan tersingkir dari tanah adat mereka.
Situasi
menjadi polemik hingga narasi-narasi pro kontra tercipta akibat pemprov.PP
merencanakan pembangunan di wilayah masyarakat Wouma dan Walesi. Lahan yang
rencana mendirikan bangunan tersebut berdasarkan klaim rakyat Wouma lahan atau
tanah adat mereka (pihak kontra) sedangkan; kepala-kepala suku mewakili rakyat
Walesi melalui klaim mereka menerima pembangunan kantor pemprov.Papua
Pegunungan di wilayah Walesi.
Pemerintah pusat melalui (Wamendagri) Wakil Menteri Dalam Negeri Jhon Wempi Wetipo sebagai anak adat Wamena seharusnya paham kondisi rakyat Wouma dan Walesi kehidupan mereka sejak dahulu kala hingga kini dan kehidupan itu mempengaruhi sikap dan narasi rakyat atas kehadiran rencana pembangunan kantor provinsi Papua Pegunungan. Namun, terkesan pemerintah tidak mau memfasilitasi narasi pro kontra ini, agar mendudukan pokok masalah untuk mencari jalan keluar, penyelesaikan masalah dengan baik.
Malahan pemerintah
pusat sampai daerah terkesan menjadi aktor pemecah bela rakyat yang tadinya
hidup damai, tentram dan aman ini, mulai terusik dengan kehadiran pemerintah
provinsi PP yang masuk melalui masyarakat yang pro terhadap kehadiran
pembangunan kantor pemprov. provinsi PP sementara; narasi yang kontra ini
terkesan dibiarkan oleh pemerintah seolah-olah menutup mata dan telingga,
terkesan sengaya dibiarkan padahal narasi tidak sepaham ini berpotensi
melahirkan konflik horizontal sesama rakyat yang selama ini hidup damai.
Pemerintah juga terkesan bermain mata dengan orang-orang yang mengklaim diri kepala suku dari beberapa klen marga untuk melegitimasi dukungan mereka terhadap pelepasan lahan pembangunan kantor Pemprov.PP. Hal ini terlihat dari video yang beredar luas.
Namun, sangat disayangkan. Berbicara menyangkut tanah tidak bisa diwakili oleh kepala suku, kepala adat atau tokoh adat dan lain sebagainya, karena menyangkut hayat setiap individu masyarakat yang berdiri di atas lahan atau tanah tersebut, sejak dahulu hingga hari ini dan generasi (anak, cucu) yang akan datang yang sudah terlahir, akan terlahir, hak mereka dikebiri oleh generasi hari ini.
Sebenarnya, tidak bisa diwakilkan oleh siapapun untuk menyerahkan hak kesulungan kepada pihak lain; tanpa diputuskan secara bersama-sama. Hal ini sama dengan melanggar hak asasi manusia dan hak-hak masyarakat adat di wilayah adatnya yang menganut sistim kepemilikan bersama atau komunal (Bukan Milik Individual) yang seharus Negara hadir untuk melindungi keberadaan masyarakat adat sebab sebelum Negara lahir masyarakat adat sudah ada terlebih dahulu.
Asosiasi Bupati Lapago, Tokoh-Tokoh Perpanjangan OTSUS JILID
II, Tim Pemakaran DOB, Jangan Mengorbankan Rakyat
Asosiasi Bupati Papua Pegunungan Wilayat Adat Lapago dan tokoh-tokoh inteletual Lapago serta tim pemekaran provinsi Papua Pegunungan, lembaga-lembaga pemerintahan yakni, eksekutif, legislatif dan yudikatif serta mitra pemerintah dan lembaga swasta dan semua pemangku kepentingan di wilayah adat Lapago segera mendudukan permasalahan pro kontra pelepasan tanah adat distrik Wouma dan Welesi agar tidak berkembang menjadi masalah baru yang bisa menimbulkan konflik sesama masyarakat.
Pemerintah Daerah Kabupaten
Jayawijaya segera memanggil para asosiasi bupati Papua Pegunungan bersama
gubernur, tim pemakaran DOB PP, tokoh-tokoh di Lapago untuk menyelesaikan
permasalahan yang timbul di wilayah adat Lapago Distrik Wouma dan Walesi ini.
Para bupati Papua Pegunungan jangan membisu terhadap gejolak yang terjadi di masyarakat Wouma dan Walesi, sebab narasi pro kontra ini terlahir disebabkan oleh kehadiran rencana pembangunan pusat pemerintahan provinsi PP di wilayah adat masyarakat Wouma dan Walesi.
Tim perpanjangan OTSUS jilid II dan pemakaran DOB
hari-hari ini terksesan melempar batu lalu sembunyi tangan, menunjukkan sifat
apatis terhadap dinamika pro kontra di rakyat Wouma dan Welesi, Wamena, Kab.
Jayawijaya, Papua Pegunungan. Padahal mereka yang mengurusi pemakaran ini tapi
kelihatannya tidak memiliki tempat untuk mendudukan pusat pemerintahan provinsi
Papua Pegunungan.
Potensi
Konflik
Hari-hari
ini situasi di tengah-tengah rakyat Papua diperadapkan dengan dinamika situasi
yang sangat genting dan krusial untuk segera ditangani oleh semua pemangku
kepentingan di daerah wilayah adat Lapago dan Meepago. Tidak lain dan bukan
baru aktornya adalah Negara RI itu sendiri, memainkan perannya sangat
signifikan di Papua secara luas, terlebih khusus di wailayah adat Lapago dan
Meepago.
Potensi-potensi
konflik mulai merajalela bermunculan bahkan; ada yang sudah lama terjadi dan
sedang gencar-gencarnya terjadi diikuti pasca pemakaran DOB di Papua. Nama-nama
pemakaran DOB dilebeli dengan pandangan inklusif kedaerahan dan memboldkan
underline wilayah, suku dll sehingga terkesan mengkontruksikan pola pikir dan
cara pandang rakyat dibenturkan sesama Papua melalui produk-produk RI untuk
memecah bela persatuan rakyat yang kian memuncak kesadaran rakyat Papua sedang
menuju usia dewasa ini, dilirik oleh lawan dan mencari celah tembok persatuan
untuk digoyahkan agar tercipta permusuhan berdasarkan pandangan inklusif negara
yang mengkotak-kotakkan berdasarkan adat istiadat, suku, bahasa, letak geografis,
klen, dll.
Kita harus
waspadai bersama untuk menangkal semua skenario busuk negara ini di bumi
Cendrawasih melalui elit-elit lokal bersama milisi-milisi bentukan (BIN-BAIS) Badan Inteljen Negara-Badan Inteljen Strategis untuk bermain di air keruh demi kepentingan kekuasaan Jakarta meloloskan
agenda-agenda negara di Papua untuk mengeksploitasi sumber daya alam
Papua di atas wilayah adat leluhur Melanesia dengan dalil pembangunan nasional.
Pemerintah
RI di pusat memekarkan DOB dengan narasi-narasi mensejahterakan rakyat namun,
kenyataan di daerah berbanding terbalik justru, Negara dengan kekuatan
aparatnya merepresif dan membungkam suara-suara masyarakat adat yang bernarasi
berbeda dengan pemerintah dikarenakan pemerintah mengambil alih hak-hak
masyarakat adat, pemerintah menjadi pelaku utama melakukan kejahatan di bumi
Papua.
Maka, Kami
Forum Pelajar dan Mahasiswa Wilayah Adat Lapago Daerah Istimewa Yogyakarta
menuntut kepada semua stakeholder di wilayah adat Lapago dan Meepago segera
menyelesaikan polemik dan konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat di
distrik Wouma, Walesi dan Topo, Papua. Segera diselesaikan sebelum menimbulkan
masalah-masalah baru akibat keterlambatan merespon dan konflik susulan
menimbulkan korban berjatuhan, demi kehutuhan ciptaan Tuhan Allah Leluhur
Bangsa Papua. Kami mendesak:
Pertama, Tokoh-tokoh
yang memperjuangan perpanjangan OTSUS JILID II dan pemakaran DOB Provinsi di
Papua: Tito Karnavian, Jhon Wempi Wetipo, Jhon Tabo, Briyur Wenda, Befa
Jigibalom dkk segera menyelesaikan polemik pro kontrak di tengah masyarakat
atas penyerahan lahan pembangunan kantor
Provinsi Papua Pegunungan.
Kedua, DAP (Dewan Adat
Papua), wilayah Lapago dan Meepago segera memfasilitasi rakyat yang pro kontra
terhadap sengketa lahan untuk diselesaikan sesuai dengan mekanisme adat.
Ketiga, Orang Papua
Stop memberikan gelar adat kepada orang luar Papua
Keempat, Orang Papua
stop Mengklaim diri sebagai kepala suku untuk melegitimasi diri sebagai keterwakilan
adat
Kelima, Pemprov Papua
Pegunungan segera menghentikan pembangunan kantor gubernur sebelum
menyelesaikan polemik pro kontra lahan di tengah rakyat Wouma dan Welesi
Keenam, Dewan Gereja
Papua segara turun tangan di tengah jemaat untuk menyelesaikan masalah pro
kontra pembangunan lahan di Wamena dan kasus sengketa lahan di Nabire, Papua
Ketujuh, Elit-elit
politk Lapago dan Meepago stop memprovokasi dan memperkeru situasi konflik demi
kepentingan politik praktis 2024
Kedelapan, Pemerintah
provinsi Papua Pegunungan stop memecah bela rakyat Wouma dan Welesi
Kesembilan, DPRP
Jayawijaya dan Nabire segera memfasilitasi untuk menyelesaikan polemik yang
terjadi di tengah rakyat Wamena dan Nabire.
Kesepuluh, Pemerintah
Provinsi Papua Pegunungan dan Kabupaten Jayawijaya stop melakukan refresifitas
melalui POLRI-TNI terhadap masyarakat Mukoko, Wouma
Di
keluarkan Yogyakarta, 17 Juni 2023
Forum
Pelajar dan Mahasiswa Wilayah Adat Lapago DIY