CATATAN KRITIS ATAS POLEMIK PERAMPASAN TANAH KOMUNAL BERKEDOK PENEMPATAN KANTOR GUBERNUR DI WAMENA
1. ELIT LOKAL LUPA DIRI
Dulu elit lokal yang sewenang wenang merampas dan membongkar lahan perkebunan masyarakat adat aliansi Wio/Mukoko di Wouma Wamena ini, waktu mereka bayi dan baru lahir, pertama kali orang tua mereka kunya ubi baru taruh di mulut. Bukan kunya beras/nasi, bukan kunya uang, bukan kunya kantor Gub, bukan kunya infrastruktur baru taruh di mulut.
Mereka diberikan hipere, hom, singkong, pain/ketela rambat dan sayur ubi rebus dan bakar batu. Dan tentunya juga wam amok/lemak babi hasil piara dari kasih makan umbi-umbian dan sayuran dari olah tanah komunal di tanah adat mereka masing-masing termasuk dari tanah yang mereka sedang gusur karena sudah malas berkebun untuk serahkan ke pihak luar ini. Kenapa? Karena rata-rata para oknum ini yaitu generasi yang lahir di era 1970an. Di masa itu, distribusi dan produksi Beras di pasaran Wamena hingga beras gaji juga tidak sebanyak hari ini. Sehingga generasi ini jelas adalah generasi tipe omnivora-herbira khusus pemakan umbi, sayur dan wam. Bila dipresentasekan maka dijamin itu 99,99%.
Tetapi hari ini, generasi mereka² ini seolah lupa asal usul. Lupa urat nadi mereka. Lupa dan abaikan struktur origin genetika mereka yang tersusun rapi dari partikel dasar ubi jalar atau Hipere. Mereka dengan tangan besi dan gelap mata membawa masuk alat berat menggusur perkebunan masyarakat yang ditanam pisang, keladi, singkong, hipere. Demi memuluskan niat membuka jalan, membawa masuk kantor-kantor Gubernur, MRP, DPRP, Kajati, dan 22 OPD serta berbagai Sarpras lain.
Amat menyedihkan para oknum elit olabok ini. Mereka lupa bila banyak masyarakat mereka yang hidup di honai² tradisional sepanjang Welesi-Wouma, Assolokobal, Assotipo, Maima ke Walaik, Napua hingga Pelebaga masih menggantungkan harapan hidup mereka pada tanah-tanah adat komunal itu. Entah untuk konsumsi bagi manusia, maupun makanan bagi hewan ternak mereka. Juga masa depan generasi mereka dari hasil olah tanah dan olah kebun tradisional yang amat unik yang telah diakui dunia itu.
2. STATUS TANAH ADAT PERMANEN TAPI JABATAN HANYA SEMENTARA
Jelas bahwa status tanah adat komunal akan permanen. Itu sudah diakui negara. Sedangkan jabatan yang mereka incar, sifatnya temporer alias sementara. Sangat tergantung juga dari dinamika politik dipucuk pemimpin daerah. Maka mereka ini seolah atau memang tidak sadar karena telah dipengaruhi nafsu kekuasaan yang membutakan mata hati mereka. Sekali lagi mereka tidak sadar bila semua jabatan dan kedudukan yang diemban saat ini hanyalah sementara semua. Tapi status tanah adat dan kebun komunal ini sifatnya akan permanen utuh dari generasi ke generasi hingga akan diwariskan secara turun temurun. Hari ini melalui politik pewayangan tangan-tangan para kepala suku yang awam/buta (mumpung mayoritas buta huruf) analisis jangka panjang dampak ikutannya, telah ditipu, dibodohi, dibuat terbuai rayuan untuk ikut menyerahkan harta warisan satu-satunya sebagai sumber produksi primer umat manusia sesuai sejarah materialisme dialektika historis suku² komunal ini.
3. SISTEM HIBAH TIDAK MENJAMIN AMAN BAGI PROSPEK PEMBANGUNAN DI MASA DEPAN
Patut disesalkan permainan beberapa elit lokal ini yang telah bermain mata dengan oknum pejabat negara tanpa memikirkan secara bijak dampak jangka pendek maupun jangka panjang dari penempatan kantor Gubernur dll itu. Mereka tidak pikir bila menyerahkan tanah secara cuma-cuma tanpa hitam diatas putih. Maka sudah banyak bukti banyak masyarakat adat ditipu oleh negara. Misalnya, yang sekarang sedang dihadapi suku Sentani atas hak ulayat lokasi bandara sentani yang masih belum memberikan dampak affirmatif signifikan sebagaimana diharapkan atau dijanjikan.
Dapat juga dilihat dinamika kondisi-kondisi suku lainnya di Papua yang hingga hari ini bermasalah dengan pemerintah dalam hal penuntutan ganti rugi hak ulayat yang telah dijadikan lokasi pembangunan fasilitas publik. Yang terus melakukan palang memalang dan tuntut menuntut yang mengganggu upaya pembangunan dan efektifitas pelayanan publik. Misalnya pada tahun 2021 dilakukan oleh Ondofolo dari Kampung Asei, Nendali, Ayapo dan Kheleblouw, serta Kampung Puai pada stadiun Papua Bangkit jelang perhelatan PON Papua. Ada juga kasus pemalangan Kantor Bupati Merauke yang dilakukan marga Mahuze beberapa tahun lalu. Serta yang paling dekat juga adalah kasus pemalangan jalan yang dilakukan warga Enggros, Tobati terhadap jalan Holtekam Hamadi dengan menuntut denda 414 Milyar dengan harga per meter 2 juta rupiah.
4. TIDAK ADA DATA DETAIL SOAL KESIAPAN SDM DI PIHAK PRO
Para oknum intelektual karbitan ini berupaya menggiring masyarakat pada kehidupan yang kelak memarginalkan hidup masyarakat adat. Bagaimana tidak ? Tanpa memiliki data akurat mengenai berapa kapasitas dan ketersediaan SDM masyarakat adat di dua distrik atau masyarakat adat baik Wouma dan Welesi, oknum-oknum ini memaksakan upaya penempatan kantor Gub dll diatas lahan masyarakat adat. Berapa jumlah sarjana asli, ASN asli, pengusaha asli dll yang sudah kompeten dan layak mengisi jabatan2 yang telah diminta secara sembunyi-sembunyi.
Berapa lulusan SMA, S1, S2 yang mereka hasilkan selama 10 tahun JWW jadi Bupati Wamena. Berapa dokter, berapa guru yang telah mereka hasil. Nihil data dan parameter. Tanpa sadari itu, para oknum intelektual karbitan ini dengan gelap mata secara militeristik mau dan harus membawa masuk kantor Gubernur ke lahan perkebunan masyarakat adat. Tanpa kajian, tanpa mengundang semua pihak, mereka buru-buru membawa masuk alat berat disertai bekapan militer melakukan perampasan lahan yang dijaga ketat hingga disekitar hutan perkebunan, perbukitan melibatkan aparatur keamanan negara plus militer. Sangat disayangkan.
5. ADA SISIPAN BALAS DENDAM PERANG SUKU
Patut disayangkan bahwa wacana penempatan kantor Gubernur yang awalnya diwacanakan di Welesi ternyata tidak benar. Ada pergeseran lokasi penempatan hingga di Logon Owa wilayah etai silimo suku Mukoko. Meskipun hal itu diketahui oleh wakil menteri dalam negeri tetapi tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan melainkan langsung disambut seolah kebetulan lagi kesulitan mencari lahan. Padahal beliau adalah anak adat, anak asli setempat.
Wamendagri secara klen dan afiliasi konfederasi perang masuk di aliansi Welesi. Dari sikap abai ini patut dicurigai Wamendagri JWW telah turut bermain dalam proses pencaplokan lahan yang bermotif balas dendam perang suku di masa lalu berkedok atas nama demi penempatan kantor Gubernur Papua Pegunungan dll di Welesi tetapi telah di bawah turun hingga di wilayah kampung logon owa, Distrik Wouma. Keterlibatan aktif Ustad Ismail Asso, Ismail Wetapo dll dalam polemik ini menunjukkan adanya bekapan penuh dari Wamendagri sebagai sesama satu afiliasi konfederasi tadi.
6. POLITIK DUA KAKI USTAD ISMAIL ASSO DKK
Satu hal yang patut diduga adalah keterlibatan Ustad Ismail Asso. Ismail Asso adalah pembina Pondok Pesantren di Koya Koso Arso Kabupaten Keerom. Beliau merupakan ketua Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah. Peran aktifnya di media sosial dan media massa boleh dikata seolah menjadi juru bicara kedua kelompok pro penempatan lokasi Kantor Gub baik di Wouma maupun dari Welesi. Banyak unggahan provokatif yang terus dimasukkan oleh Ustad ini. Dalam konteks permainan kepentingan patut diduga Ustad ini memiliki motif tertentu yang sedang diincar dari wacana ini. Oleh karena itu, perlu diwaspadai jangan sampai permainan dua kaki ustad itu dapat menyebabkan terjadinya konflik antar suku yang telah didamaikan oleh gereja Katolik sejak lama dan oleh pemerintah dimasa bupati Albert Dien sekitar tahun 1980an silam.
7. PRAKTEK PENGKHIANATAN DI INTERNAL ALIANSI MUKOKO
Dalam prinsip hidup orang Huwula, ada dikenal tidak boleh bersekutu atau berselibat dengan pihak musuh. Bila terjadi demikian maka disebut penghianatan (Hola) dan akuni wim palek/sili meke yob werek. Maka orang yang seperti itu akan diusir atau kalau tidak akan dibunuh oleh saudara/i aliansinya sendiri. Meski demikian saat ini memang telah terjadi perubahan mindset dan paradigma. Masyarakat tidak seketat dulu. Namun akan menjadi serius dan menjadi pokok perhatian masyarakat suatu aliansi bila seorang oknum menyerahkan lahan komunal dengan motif kepentingan pribadi dan kelompok kepentingan. Itu sama halnya dengan peribahasa tindakan " ada musuh dalam selimut". Oleh karena itu akan disoroti, dikutuk, diusir oleh aliansinnya.
Hal seperti itulah yang sedang tergambar jelas sedang dilakukan oleh segelintir eks politisi di Wouma di bawah pimpinan Paulus Matuan cs. Mereka telah menjadi pengkhianat. Mereka telah menjadi Yudas atas sesama sukunya. Kelompok itu demi kepentingan pribadinya telah menyia-nyiakan nyawa pengorbanan leluhur dan kakek, nenek buyut suku Wio Mukoko dalam seluruh perjuangan hidup mempertahankan eksistensi teritori kekuasaan. Tapi para pengkhianat itu hanya dalam sekejab tanpa berdialog dan bersosialisasi secara demokratis bersama semua elemen anggota masyarakat aliansi Wio telah menyerahkan tanah pusaka tersisa kepada pihak musuh. Tindakan pengkhianatan ini akan dicatat dan diingat oleh seluruh generasi anak cucu para korban perang di aliansi Wio dan sluruh masyarakat adat Wio hari ini dan di masa depan.
8. NARASI LIMA (5) KEPALA SUKU BESAR, TERLALU BERLEBIHAN
Bila mengikuti narasi pihak sebelah seperti yang sedang dilakonkan oleh Ust. Ismail Asso cs hanyalah upaya menarik simpati publik. Biar publik mengakui bahwa pemberian tanah hibah itu benar-benar diberikan oleh para kepala suku (big man) yang benar-benar terlegitimasi besar dan punya power besar. Padahal, sebenarnya tidak juga. Menggunakan istilah kepala suku besar kenyataannya prematur, berlebihan dan terlalu over of capasity.
Kenapa? Karena yang lebih tepat disebut kepala suku besar itu adalah kepala-kepala aliansi atau antar sub suku di Lapago. Bukan klen Wita Waya yang jumlah KKnya tidak lebih dari 5-10 KK bahkan ada yang kurang dari itu. Mestinya yang disebut sebagai kepala suku besar adalah yang membawa 50-100 KK. Misalnya Gabriel Lagowan-Wenehule Hubi yang pernah dianggap sebagai kepala suku yang membawahi seluruh aliansi Wio Mukoko. Bahkan seperti Hun Ukum Hearik Asso yang disebut pernah membawahi beberapa afiliasi aliansi perang.
Bila memang benar mereka itu sebagai kepala suku besar, maka pertanyaannya: apakah mereka sejajar kedudukannya dengan kepala-kepala suku yang diakui LMA, kepala suku besar Alex Doga, kepala Suku Besar Papua Lukas Enembe yang diberikan Dewan Adat Papua 2022 lalu? Dan apakah selevel dengan gelar kepala suku Pegunungan Tengah yang diberikan kepada Pandam Cenderawasih 2020 lalu? Masa gelar kepala suku besar di pimpinan klen lalu kepala suku di klennya siapa? Apakah ada lagi? Sesuai struktur adat setelah pemimpin klen tidak ada lagi kepala suku selain kepala keluarga. Ini sesuatu yang terlalu berlebihan. Bagi yang paham struktur adat dalam sistem kehidupan masyarakat Balim, ucapan Ust. Ismail Asso ini terlalu over halusinasi. Biar dianggap wao gitu?
9. POTENSI KONFLIK
Kami tetap mengingatkan bahwa bila pemerintah secara sepihak terus menerus mendorong penempatan kantor Gubernur di wilayah teritori aliansi Wio di Wouma maka akan memancing konflik horizontal. Sejak awal pembongkaran paksa lahan hingga detik ini masyarakat masih saling baku jaga. Setelah aksi protes masyarakar kontra di jalan-jalan tetapi ditanggapi secara tangan besi oleh pemerintah dengan bekapan militer, maka saat ini buntut masalah itu mulai menyasar tempat ibadah, jalur gereja dan individu aktor utama khususnya di Wouma.
Artinya sejak awal wacana penempatan kantor Gubernur di Welesi yang nyatanya menjadi di Wouma, maka berbagai upaya penolakan terus masih terjadi. Hal itu berbeda jauh dengan upaya penempatan kantor Gubernur Papua Selatan, Tengah dan Barat Daya yang semuanya berjalan sangat mulus tanpa ada kelompok pro dan kontra. Hal tersebut menunjukkan tetap akan ada korban bila pemerintah secara ceroboh berusaha paksa menempatkan kantor Gub dilahan perkebunan masyarakat adat Wio Mukoko di Siekelek Logon Owa tsb.
10. TIDAK ADA KOMUNIKASI DENGAN PEMKAB JAYAWIJAYA, ASOSIASI BUPATI SE PEGUNUNGAN TENGAH
Sejatinya hadirnya DOB Provinsi Papua Pegunungan karena adanya 8 Kabupaten di wilayah adat Lapago. Posisi kedudukan dan lokasi penempatan kantor Gubernur Papua Pegunungan harusnya menjadi bahan diskusi dan kajian bersama 8 Bupati se Provinsi Papua Pegunungan. Dalam forum musyawarah bersamalah harusnya lokasi penempatan kantor Gubernur ini disepakati secara bersama. Bagaimanapun lokasi penempatan kantor Gubernur akan menentukan gerak maju dan mundurnya sistem pemerintahan di Prov baru itu ke depan. Sehingga demi kebaikan persemaian bibit benih DOB yang hadir di dalam polemik juga, mestinya mendapatkan sambutan dan kesepahaman yang baik dari semua kepala daerah di Lapago.
Namun yang terlihat seolah-olah ada tekanan atau intervensi langsung dari Wamendagri hinggga kepada hal remeh temeh soal lokasi penempatan kantor Gubernur. Padahal Wamendagri cukup memberikan arahan, juknis dan jalan bagaimana mendapatkan partisipasi masyarakat dalam menyambut hadirnya DOB dan rancang bangun kantor gub dll. Wamendagri terlalu bermain jauh dari tupoksinya. Hal yang mana tidak terlihat di beberapa DOB Provinsi yang lain, dimana tidak nampak peran Wamendagri hingga ke tingkat penentuan lokasi penempatan kantor Gubernur. Bila sudah terlampau jauh keterlibatan Wamendagri dalam penentuan lokasi kantor Gub dll itu,maka patut dipertanyakan: ada apa dibaliknya?
Sejak awal pembicaraan lokasi setelah ditolak warga Konamwaga Distrik Muliama, bupati Jayawijaya dan Wabup terlihat enggan bicara mengenai polemik penempatan kantor Gubernur ini. Padahal secara administratif lokasi yang diperdebatkan sekarang masuk dalam wilayah administrasi Kab. Jayawijaya. Mengapa tidak ada kerjasama dan kordinasi antar pemerintah Kab Jayawijaya dengan Pemprov PPP. Apakah ada potensi benturan konflik kepentingan? Ataukah ada sesuatu hal lain yang masyarakat belum dapat pahami?
11. PARA KEPALA SUKU HANYA DIMANFAATKAN
Dari keberhasilan penempatan kantor Gubernur nanti bila dihitung siapa yang bakal untung dan siapa yang buntung? Menjawab pertanyaan ini penting agar tergambar jelas siapa akan dapat apa. Pertama bagi elit lokal yang mendorong penempatan kantor Gubernur. Mereka akan dapat jatah kursi DPRP, DPRDK, Kepala Dinas, Kepala Bagian, proyek A, B, C dll,demikian pula dapat perumahan bila benar ada. Kedua, untuk kepala suku palingan hanya dapat uang jutaan rupiah sebagai pelicin untuk tutup mulut bilang setuju, terima babi/uang ratusan atau jutaan saat kedukaan, rokok pinang dan dapat ajakan bersafari halal dan tidak halal. Juga tentunya dapat bantuan studi berupa beasiswa bagi anak2 mereka bila ada. Palingan hanya itu.
Mana mungkin dapat jabatan, proyek dll? Tidak jelas mustahil. Demikian juga yang paling vatal, peran kepala suku makin sempit dan tidak lagi akan dipakai di masa depan karena epistemologi adat tidak relevan di gedung pemerintahan dan birokrasi. Akhirnya hanya akan menjadi penonton dan pengunjung setia kantor Gubernur dari satu pintu ke pintu lainnya. Dari satu halaman ke halaman kantor lainnya demi memperoleh satu dua batang rokok atau sehelai uang merah dari kendaraan plat merah yang masuk keluar kantor dengan berbagai urusan administrasi yang padat. Akhirnya yang ada para kepala suku yang tiap hari hanya pulang pergi kota dan kantor pemerintah. Mental berubah yang dulu pekerja keras dan pelindung sukunya kini menjadi antek pemerintah cum pengemis miskin kota. Hal itu diperparah dengan hilangnya tanah-tanah komunal karena telah berubah menjadi pusat perkantoran yang makin mengalienasikan mereka untuk selamanya.
12. MODERNITAS TIDAK SELALU BERDAMPAK POSITIF
Dalam sub topik ini kami kutip sebagian himbauan budayawan lembah Balim Alm. Nico Lokobal berikut:
"Perhatian terhadap nilai-nilai positif budaya
setempat tidak hanya terbatas pada unsur-unsur materiil yang mengitari manusia, melainkan (dan
terutama) hormat akan kemanusiaan sejati dan
kebebasan batin. Sebab ternyata budaya modern tidak seluruhnya mendukung dan mengembangkan eksistensi manusia. Kita sedang menyaksikan pelaksanaan kesewenang-wenangan yang menggantikan hak dan kewajiban, solidaritas persaudaraan semakin digeser oleh sikap isolasi individualisme, kelimpahan hidup terancam oleh kemiskinan terstruktur (atau pemiskinan absolute), kejujuran digantikan oleh manusia bertopeng yang semu dan tamak. Manusia yang satu bertanya 'hari
ini saya makan apa' sementara manusia lainnya
bertanya 'hari ini saya makan siapa'." (Thadeus Mulait dkk, 1996).
Ada upaya paksa sekelompok elit yang berargumentasi demi modernisasi dan mendekatkan pembangunan. Tetapi kelompok ini tidak pikir jauh. Apakah selama ini modernitas telah membawa dampak positif bagi masyarakat adat. Banyak peneliti telah menyimpulkan bahwa dampak negatif dari modernitas yang berkait kelindan dengan globalisasi telah memporak-porandakan kehidupan masyarakat adat. Menghancurkan hutan, lahan perkebunan, alam akibat pembabatan hutan, lahan dan penambangan material yang menghancurkan ekosistem alam, satwa liar dan menghacurkan struktur tatananan nilai komunitas masyarakat adat.
Apa yang disampaikan Ust. Ismail Asso dkk lebih bersifat menyajikan narasi "pesanan" yang enak-enak atau seolah tahu tetapi mau keluarkan sedikit-sedikit takut ketahuan efek negatifnya lebih destruktif dominan. Inilah mengapa apa pun yang diungkapkan mereka lebih dikemas rapi agar tidak banyak yang mencium aroma busuk dibaliknya. Apakah betul warga Welesi-Wouma tidak terjamah dampak positif pembangunan? Kami pikir tidak sepenuhnya benar. Istilah pembangunan terlalu luas. Bila mengaitkan pembangunan hanya soal masuknya akses jalan, jembatan dan infrastruktur saja, adalah kacau. Orang Wamena khususnya dikedua aliansi selama ini sudah hidup bersyukur dan penuh kesadaran akan identitas asali mereka. Mereka sudah bahagia dengan apa adanya. Apakah mereka selama menuntut pembangunan? Kan tidak karena alasan historis mereka telah menegaskan bahwa mereka sudah menjadi manusia dan mereka sudah puas dengan yang mereka miliki. Oleh karena itu, berhentilah berupaya membawa masuk nilai-nilai luar sesuai kebudayaan luar secara buta dalam kehidupan orang Welesi dan Wouma. Itu sangat kelewatan.
Banyak pengakuan dari pihak luar telah diberikan kepada teknik pertanian orang Wamena demikian juga teknik pembuatan jembatan gantung (Lieshout, 2019) bahwa ada rasa kagum mengenai sistem pertanian dan teknik konstruksi jembatan asli orang Wamena yang telah diakui dunia sebagai yang terbaik di dunia. Oleh karena itu sangat tidak pantas pola pertanian dan pola konstruksi jembatan, rumah (Silimo) dll itu dilenyapkan hanya demi mendapatkan nilai lebih dari remah-remah yang akan diberikan dibalik proyek² pemerintah dan gaji² jabatan di pemerintahan yang membunuh potensi dan kompetensi genetik yang unik.
Wamena, Wouma 13 Juni 2023
Aliansi Masyarakat Adat Wouma Save Tanah Adat Wio Mukoko