Gila Kehormatan - Explore Kwaya
Selamat Datang di Blog Explore Kwaya

Monday, July 8, 2024

Gila Kehormatan

Gila Kehormatan: Di negeri ini, sedang ada diskon besar-besaran. Bukan. Bukan diskon barang. Tapi diskon kehormatan.


Anda tidak usah bersusah payah meniti karir jadi dosen. Tidak usah susah-susah mengajar, membimbing calon-calon sarjana, menguji, dan melakukan riset-riset serius. Tapi, Anda bisa menjadi Guru Besar Kehormatan. 


Itu tidak saja terjadi di dunia akademik. Masih ingat seorang yang kerjaannya ngoceh bertanya, tanpa pernah masuk akademi militer, tanpa pernah latihan bertempur, dan tidak bertempur, tapi kemudian mendapat pangkat Letnan Kolonel (tit)? 


Saya harus membubuhkan kuru "tit." Bukan. Bukan titid! Itu artinya tituler. Gelar kehormatan. Lalu mengapa dia mendapat gelar tit itu? Tidak ada yang tahu. 


Yang jelas, dia memberikan interview kepada menteri yang mengurus bidang pertahanan. Tentu bukan interview yang halus, yang bikin persepsi bahwa sang menteri itu bersih dan tidak punya dosa masa lalu. Dan, sekarang ia terpilih jadi presiden.  


Nah, ini satu lagi, Staf khusus sang menteri, yang orang Papua pun, diberi pangkat Letnan Kolon (tit). Entah apa pertimbangannya. Dia bukan lulusan Akmil, bukan lulusan Secapa atau Secapa. Tidak pernah berdinas di militer. Tidak mengkomando pasukan. Tidak pernah bertempur. 


Satu-satunya alasan yang kira-kira masuk akal bagi dia menjadi Letkol (tit) itu adalah karena dia 'mengabdi' pada boss-nya. 


Obral dan diskon kepangkatan militer ini mengenaskan. Saya mengamati institusi ini sepanjang karir saya. Jadi saya lumayan tahu kehidupan seseorang untuk sampai ke jenjang kepangkatan itu. 


Jika Anda lewat jalur biasa karir militer, dari letnan dua ke letnan kolonel, Anda harus lewat lima jenjang kepangkatan (Letda, Lettu, Kapten, Mayor, Letkol). Dalam prosedur normal, butuh 20 tahun untuk seseorang yang lulus dari Akmil menjadi Letkol. 


Itu pun, untuk sampai ke jenjang itu, seorang prajurit perwira haurs melewati periode-periode yang berat: beraneka ragam kursus, latihan, penugasan, pendidikan reguler, bertempur, dan lain sebagainya. Selain itu, seorang prajurit perwira juga diuji kepemimpinannya dengan menjadi komandan - Danki, Danton, Danyon. 


Proses ini panjang dan berat. Dan, secara ekonomi, juga tidak begitu menguntungkan. Prajurit dan perwira TNI hidup dengan penghasilan pas-pasan. Sehingga kadang kita dipaksa untuk memaklumi bahwa mereka harus mencari sampingan. Sebagian melakukannya secaa halal, sebagian lain dengan jalan melanggar aturan. 


Disitulah kemudian menjadi pertanyaan, adilkah obral gelar tit-tit yang semata-mata tempelan gelar kehormatan ini? Sebagian besar prajurit dan perwira TNI meraih jenjang kepangkatan ini benar-benar dengan darah dan airmata. 


Adakah kita bertindak adil kepada mereka yang memang berjuang sesungguhnya untuk negeri ini? Negara ini memberikan segala macam kehormatan kepada prajurit-prajuritnya karena mereka  yang siaga 24 jam menjaga negeri ini dengan taruhan nyawanya. Bukankah kita melakukan ketidakadilan dan merampas kehormatan para prajurit kita karena obral-obralan tit-tit ini? 


Hal yang sama juga terjadi para profesi akademik. Begitu banyak orang mengabdi dan berjuang di berbagai perguruan tinggi. Mereka menyediakan generasi-generasi yang akan membangun negeri ini. Adilkah mengobral gelar-gelar kehormatan tersebut untuk orang-orang yang tidak pernah mengajar, meneliti, membimbing skripsi, tesis, atau disertasi? 


Gelar-gelar kehormatan ini hanya untuk mereka yang gila hormat! Para pemberinya juga meletakkan gila hormat ini -- hanya karena mereka menjadi sychopant. 


Pada hakekatnya penerima gelar-gelar kehormatan ini hanyalah para abdi. Bukan abdi kepada negara. Tetapi hanya abdi kepada individu pejabat yang sedang berkuasa. 


Kita benar-benar melakukan ketidakadilan kepada mereka yang berjuang, mengabdi, dan meniti karir dengan benar. Lebih penting lagi, gelar tit-tit ini merusak institusi TNI, sama seperti gelar profesor kehormatan ini merusak institusi pendidikan! 


Hentikan semua bentuk gila hormat ini!


Made Supriatma