Film Dokumenter JUBI TV Berjudul "Sa Punya Nama Pengungsi" Ditayang Perdana di Yogyakarta - Explore Kwaya
Selamat Datang di Blog Explore Kwaya

Thursday, September 28, 2023

Film Dokumenter JUBI TV Berjudul "Sa Punya Nama Pengungsi" Ditayang Perdana di Yogyakarta

Foto Suasana Nonton Bersama Lima Film Dokumenter Para Jurnalis JUBI di Sekertariat Social Movement Institut, Kec. Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, Rabu (27/09/2023)

Saya Nonton Film Dokumenter JUBI TV Berjudul "Sa Punya Nama Pengungsi"


Kawan ko dengar, saya mau cerita soal film dokumenter karya para jurnalis media terkemuka di Papua bernama JUBISaya sering mengikuti video berita yang diupload di YouTube channel Redaksi JUBI TV di sana banyak sekali berita video liputan lapangan langsung dan video podcast mengundang para narasumber ke ruang podcast JUBI, lalu membahas banyak sekali isu-isu yang terjadi di tanah Papua.


Satu kali saya coba browsing di YouTube lalu keluar notifikasi di email saya video dari channel redaksi JUBI TV karya sutradara Yuliana Lantipo yang berjudul "Sa Punya Nama Pengungsi".


Saya pun menonton ternyata itu video trailernya, saya pun penasaran seperti apa video lengkap lalu, di lain waktu saya membuka kembali dan ternyata di ruang podcast JUBI kembali digelar bincang-bincang bersama para sutradara film " Sa Punya Nama Pengungsi" diakhir perbincangan sutradara dan cameraman serta host bersamaan menyampaikan akan rilis sesegera mungkin di publik.


Saya pun merasa tidak bersabar untuk menonton ternyata, muncul poster di IG JUBI bahwa kelima film dokumenter karya jurnalis JUBI itu secara langsung akan tayang di Jayapura dan Yogyakarta pada, 27 September 2023.


Saya datang menonton secara langsung di lokasi pemutaran film di sekertariat Social Movement Institut, Kecematan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Pada Rabu Malam 27 September 2023, dari kelima film itu diputar hanya tiga film saja, karena alasan waktu.


Judul film yang diputar pertama yakni: "Saat Mikrofon Menyala, Pepera 1969: Integrasi yang Demokrasi ? Sa Punya Nama Pengungsi" sedangkan kedua film yang berjudul "Suara Grime dan Mutiara Hitam" tidak diputar.


Usai menonton kedua film pada sesi pemutaran pertama sebelum pemutaran sesi kedua film sa punya nama pengungsi diisi dengan diskusi panel dipandu oleh jurnalis media The Papua Journal sekaligus novelis Papua perempuan bernama Aprila Wajar dihadiri sutradara film Pepera 1969: Integrasi yang Demokratis? Sekaligus jurnalis JUBI Hengky Yeimo dan Sutradara film "Saat Mikrofon Menyala" Rabin Yarangga serta wakil direktur ELSAM Jakarta yang memiliki rekam jejak terkait isu-isu di Papua menjadi penangkap diskusi panel itu.

Judul film dokumenter "Sa Punya Nama Pengungsi" mengandung dua makna dalam video dokumenter itu.

Pertama, film dokumenter diberi judul Sa Punya Nama Pengungsi karena video dokumenter ini isinya pengungsi Nduga dan Maybrat menggambarkan realitas pengungsi di beberapa wilayah konflik di Papua.


Kedua, Pengungsi nama buat kedua anak yang terlahir di perjalanan pengungsian dari Nduga menuju ke Wamena, Provinsi Papua Pegunungan dan anak yang terlahir di pengungsian wilayah Maybrat, Papua Barat Daya. 


Kedua wilayah ini terjadi pengungsian karena  konflik bersenjata antara TPNPB-OPM VS TNI/POLRI  yang sangat sengit sehingga, rakyat Papua mengevakuasi diri mengungsi ke hutan dan wilayah-wilayah yang masih aman di Papua lainnya. Sebenarnya tidak hanya terjadi di Nduga dan Maybrat namun, terjadi juga pengungsian, rakyat Papua di Puncak Papua, Intan Jaya, Yahukimo, dan Pegunungan Bintang.


Film ini di syuting di dua lokasi yakni di Kabupaten Jayawijaya Wamena dan Kabupaten Maybrat Sorong di lokasi para pengungsian bermukim dan sangat jelas tergambar kondisi para pengungsi di wilayah lain seperti Intan Jaya, Yahukimo dan Pegunungan Bintang melalui film dokumenter pengungsi Nduga dan Maybrat ini.


Pemerintah RI Mengabaikan Nasib Pengungsi di Papua

Dalam video dokumenter "Sa Punya Nama Pengungsi" terlihat jelas dan bisa membayangkan tragisnya nasib para pengungsi di wilayah-wilayah konflik di Papua, nasib para pengungsi ini tidak diurus oleh negara melalui pemerintah daerah maupun pemerintah pusat RI (Republik Indonesia).


Para pengungsi ini hidup sangat memprihatikan, di pengungsian kebutuhan pokok seperti makan, minum, dan hunian serta akses terhadap pendidikan dan kesehatan tidak dilayani secara intens, terkontrol dan terorganisir; kalaupun ada disaat awal mengungsi namun, belakangan ini diabaikan oleh pemerintah RI di daerah maupun pusat.


Namun, menelisik perjalan Indonesia di kancah intenasional belakangan ini, melalui menteri luar negeri sedang gencar-gencarnya mendukung isu-isu konflik di Palestina dan Afganistan bahkan secara terang-terangan mendukung kemerdekaan Palestina dari Israel. Hal itu kembali disampaikan oleh menteri luar negeri Indonesia di sidang Majelis Umum PBB Ke-78 di New York 19 September 2023 dikutip dari voaindonesia.


"Di tengah berlanjutnya konflik di Ukraina yang terus mendapat sorotan global, beragam konflik yang telah lama berlangsung terbenam dalam Sidang Majelis Umum PBB. Tapi Indonesia kembali suarakan pentingnya anggota PBB untuk tetap memperhatikan konflik-konflik ini, termasuk konflik Israel-Palestina."


Sedangkan melansir dari laman website kemlu.go.id Indonesia selain menghadiri acara pembukaan sidang Majelis Umum PBB Ke-78, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia juga menghadiri forum-forum bilateral antarnegara berikut kutipannya.


"Hari ini cukup padat. Saya juga hadir dan menjadi salah satu pembicara pada High-level Side Event: Global Solidarity with Afghan Women and Girls, yang di co-host bersama dengan Menlu Irlandia, dan Menlu Kanada serta Women’s Forum on Afghanistan. Teman-teman tahu bahwa situasi perempuan di Afghanistan sangat mengkhawatirkan. Mereka terus mengalami pembatasan demi pembatasan akibat kebijakan dari Taliban. 80% anak perempuan usia sekolah tidak dapat sekolah. Perempuan juga dilarang bekerja untuk PBB dan juga NGO internasional." Tutut Retno Marsudi Kata Menteri Luar Negeri Indonesia.


Situasi ini tentunya akan mempersulit pengiriman bantuan kemanusiaan ke Afghanistan yang biasanya melibatkan perempuan. Dan data UNDP memperkirakan, pembatasan akses pekerjaan bagi perempuan menyebabkan Afghanistan kehilangan 1 miliar USD dari PDB-nya atau sekitar 7%. Afghanistan juga menghadapi endemi polio yang juga akan memberikan tambahan beban bagi perempuan.


Side event ini, teman-teman, diselenggarakan untuk mendorong solidaritas global terhadap perempuan Afghanistan. Di dalam pertemuan tadi, yang saya sampaikan antara lain bahwa solidaritas global terhadap perempuan Afghanistan harus diwujudukan dalam aksi konkret. Saya tekankan aksi konkretnya. Dan politik tidak boleh menghalangi bantuan bagi rakyat Afghanistan. Saya sampaikan tiga hal dimana Indonesia berusaha memberikan kontribusi:


Pertama, bantuan kemanusiaan

Selain bantuan yang sudah diberikan Indonesia pada tahap awal, Indonesia sebagai tambahannya akan mengirim 10 juta dosis vaksin polio ke Afghanistan. Jadi karena mereka menghadapi endemic Polio maka diperlukan tambahan vaksin polio dan kita sudah sepakat, sudah memutuskan, untuk mengirim 10 juta dosis vaksin polio dan ini kita lakukan bekerja sama dengan UNICEF dan vaksin ini diproduksi oleh Biofarma.


Kedua, kontribusi Indonesia terhadap pendidikan perempuan Afghanistan

Jadi kita sudah memberikan beasiswa, kita memberikan pelatihan kepada Perempuan Afghanistan. Tahun lalu, kita bersama Qatar menyelenggarakan International Conference on Afghan Women Education (ICAWE) di Bali. Dan tahun ini bulan November kita akan menyelenggarakan untuk kedua kalinya konferensi ini, dan dari konferensi di Bali sebenarnya dukungan terhadap Pendidikan bagi kaum perempuan Afghanistan cukup tinggi. Memang masalahnya adalah terkait dengan bagaimana kita mengimplementasikan dukungan dan komitmen-komitmen tersebut karena menghadapi kesulitan adanya policy yang menghambat akses perempuan terhadap Pendidikan.


Ketiga, Kontribusi Indonesia terkait ulama

Selama ini Indonesia sangat aktif melakukan komunikasi antar ulama. Kita berbagi best practices kepada ulama-ulama Afghanistan tentang pendidikan inklusif bagi perempuan. Dan baru-baru ini, ulama Indonesia menjadi bagian dari ulama OKI yang berkunjung ke Afghanistan, dan semua upaya ini dilakukan Indonesia karena kita ingin melihat Afghanistan damai dan makmur. Dan sebagai penutup tadi dalam pernyataan saya sampaikan bahwa politik tidak boleh menjadi penghalang, karena di atas politik ada kemanusiaan, dan kita harus mementingkan kemanusiaan.


Itu tadi yang saya sampaikan di acara High-level Side Event mengenai Afghanistan, dan kontribusi Indonesia terhadap isu Afghanistan ini sangat diapresiasi oleh dunia, termasuk para perempuan Afghanistan. Karena mereka menilai bahwa Indonesia merupakan contoh yang baik bagi sebuah negara Muslim, dimana gender equality berjalan baik, dan dimana perempuan mendapat akses pendidikan yang sama dengan laki- laki.


Kapan Negara RI Menyelesai Persoalan Papua ?

Film Dokumenter "Sa Punya Nama Pengungsi" ada kaitannya dengan film dokumenter "Pepera 1969: Integrasi yang Demokratis ?" Orang Papua terutama pelaku sejarah Pepera 1969 (Penentuan Pendapatan Rakyat) yang digelar oleh pemerintah RI di Papua bersaksi bahwa penggabungan wilayah Papua ke dalam wilayah Indonesia adalah pencaplokan atau aneksasi dilakukan atas persekongkolan Indonesia, Amerika Serikat dan Belanda (Baca: New York Agreement and Roma Agreement) dengan kepentingan ekonomi-politik sehingga versi pemerintah RI Integrasi Papua ke dalam NKRI sudah final.


Sedangkan, menurut orang Papua wilayah Papua ke dalam NKRI adalah pencaplokan atau aneksasi wilayah dengan cara-cara manipulatif tidak demokratis tanpa melibatkan orang Papua dalam forum-forum Internasional kala itu sehingga, rakyat Papua terus mendesak kepada pemerintah RI untuk mengelar ulang referendum di West Papua (Baca: Pepera 1969)


Penutup

Melihat dinamika Indonesia di hari-hari ini melalui geopolitik menteri luar negeri sangat berbanding terbalik dengan geostrategi Indonesia di dalam negerinya sendiri. Indonesia di panggung-panggung internasional dan forum-forum bilateral antarnegara terkesan terlihat sangat konsen memberikan dukungan solidaritasnya sangat tinggi terhadap negara-negara di Timur tengah seperti Afganistan, Falestina dari kacamata kemanusiaan tetapi juga tidak menutup kemungkinan dari sisi religius begitu juga dengan perhatian terhadap negara-negara kepulauan fasilitk untuk merendam dukungan negara-negara kepulauan pasifik terhadap West Papua.


Sedangkan, dari sisi kemanusiaan di dalam negeri Indonesia terjadi konflik berkepanjangan di West Papua sejak wilayah Papua dicaplokan ke dalam Indonesia konflik bersenjata antara TPNPB-OPM VS TNI-POLRI tak pernah usai dan melahirkan efek terhadap rakyat sipil Papua rentan korbannya kebanyakan perempuan dan anak.


Konflik semakin meluas dan eksis di bumi Papua namun, negara terkesan tidak mengubris untuk menyelesaikannya bahkan pelayanan kemanusiaan terhadap korban konflik di pengungsian tidak ditangani oleh negara secara terorganisir dan berkelanjutan hingga film dokumenter berjudul "Sa Punya Nama Pengungsi" ini diluncurkan bersamaan dengan film dokumenter yang menjadi cikal-bakal konflik berkepangan di West Papua hingga hari ini.


Konflik subur mengalirkan air mata dan darah orang Papua juga disematkan dalam film yang berjudul "PEPERA 1969: Integrasi yang Demokrasi ?" Semakin memperjelas untuk identifikasi dan merumuskan pokok permasalahan yang terjadi di bumi Cendrawasih, Bumi leluhur orang Melanesia-West Papua "Bumi Surganya Dunia ini." Kapan Negara RI Menyelesaikannya ?