Reflective Murtanichel - Explore Kwaya
Selamat Datang di Blog Explore Kwaya

Tuesday, July 25, 2023

Reflective Murtanichel

 

Foto di Hutan Pinus Pengger Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta

Pembukaan
Hallo...para pengunjung Kwaya Explore 
Apa kabar kalian semua ? 
Saya berharap kalian semua kabar baik dan sehat walafiat.

Saya mau berbagi cerita pengalaman hidup saya dari kecil sampai dewasa sekarang di Jogja. Sebenarnya kurang menarik untuk dibaca Sobat Explore Kwaya, bagi yang tidak mengalami. Tapi, saya yakin mungkin di antara kalian ada yang mengalaminya atau pernah mengalami hal yang serupa sobat Explore Kwaya.


Ataupun pernah mendengar dari cerita orang lain atau mungkin, pernah menjadi aktor di cerita ini. Semoga saja kalian semua orang-orang baik yang tidak ada dalam cerita ini. Sehingga, tanpa merasa bersalah  bisa meluangkan waktu sebentar saja untuk membaca cerita ini. Bilamana sobat Explore Kwaya bukan orang pendatang di Jogja sebaiknya jangan membaca cerita ini.


Mungkin juga buat sobat Explore Kwaya orang pendatang namun, bukan dari Papua pasti tidak penting untuk membaca juga tulisan ini. Tulisan ini lebih tepatnya buat pelajar dan mahasiswa asal Papua yang merantau di Jogja.


Saya sebenarnya belajar menulis auto-biografi. Pada kasus ini, saya menulis tentang diri saya sendiri sebagai contoh penulisan auto-biografi bertutur cerita kelahiran hingga perjalanan dewasa yang saya alami selengkapnya ada di sini, lewat tulisan ini. langsung ke intinya.

Let's Go.

Ada pepatah lama mengatakan “Tak Kenal Maka Tak Sayang” Alangkah eloknya, saya memperkenalkan diri terlebih dahulu, saya Murtanichel Tabuni dari nama saja sudah bisa tebak kalau saya seorang laki-laki, saya dilahirkan di sebuah rumah sakit bernama “Immanuel” yang berarti kata dalam bahasa Ibrani “Allah Beserta Kita”.

Pada 15 Oktober 1995, saya kini berusia 27 tahun, saya terlahir di rumah sakit Immanuel itu milik gereja OAP (Orang Asli Papua) kian terkenal luas namanya GIDI (Gereja Injili Di Indonesia), di kota kecil yang bernama Mulia, Kabupaten Puncak Jaya, Provinsi Papua Tengah.

Saya memiliki empat bersaudara, saya anak kedua secara urutan kelahiran untuk sekarang, saya paling tua, setelah saudara sulung saya meninggalkan kita sekeluarga pergi untuk selamanya.

Di belakang saya seorang laki-laki berinisial NW sapaanya Longsor, kami masih memiliki kedua adik putri berinisial AW dan NW keduanya perempuan. Puji Tuhan kami berempat masih hidup bersama kedua orang tua kami, bapa TW dan mama YT. 

Ceritanya kata mama, saya dengan saudari sulung usia kami, cuma bedah 1 tahun dia kelahiran 1994 sedangkan saya kelahiran 1995 karena itu kedua orang tua kami dari kampung Kwiyawagi berangkat ke Mulia untuk persalinan saya. Usai persalinan saya, kata mama, kita sekeluarga pergi kembali ke kampung halaman tercinta Kwiyawagi.

Dari Kwiyawagi, kami berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan studi DIII (Diploma III) Teologi di salah satu kampus ibu kota Negara RI (Republik Indonesia) kurang lebih, kita hidup di Jakarta selama tiga tahun lamanya setelah bapa saya menyelesaikan studi kami pun pulang balik ke Papua menaiki kapal laut dan sampai di Nabire, kota jeruk yang kini menjadi ibu kota Provinsi Papua Tengah. 

Di sana di (Nabire) selama berbulan-bulan karena harus bernegosiasi dengan ipar bapa saya untuk memberikan hak asuh kakak saya berinisial JT, sapaannya Sorry selama kedua orang tuanya meninggal dunia hidup dengan omnya (kakak laki-laki dari ibunya yang sudah almarhumah).

Dia diasuh oleh omnya, ipar bapak saya dan akhirnya negosiasi hak asuh pun berhasil. Omnya menyetujui kami untuk membawa pulang dan kami sekeluarga pun harus berangkat dari Nabire ke Mulia tempat kelahiran saya, tidak lain; ibu kota kabupaten Puncak Jaya. Selama beberapa hari di sana (di Mulia) bersama keluarga dan kami pun berangkat ke kampung Kwiyawagi.

Mengungsi dari kampung sendiri
Kami hidup di kampung halaman Kwiyawagi dengan penuh damai, aman dan nyaman seperti orang-orang pada umumnya hidup di daerah lain di Papua, kala itu pada 2003. Kami masyarakat se-Kwiyawagi mengungsi ke berbagai daerah, buntut dari Operasi Penyisiran Wamena sampai masuk di Kwiyawagi melalui jalan darat Wamena-Habema.

Pada waktu itu, saya ingat betul, saya dengan beberapa kawan mencari kayu bakar untuk digunakan masak di rumah. Namun, suara mama-mama kami nyaring meneriaki kami untuk ikut mengungsi sebab situasi saat itu susah untuk dikendalikan.

Sehingga  masyarakat di Kwiyawagi mengungsi ke daerah-daerah terdekat seperti: Balingga, Tiom, Wamena, Ndugama, Ilaga, Mulia, Jambi, sesuai dengan keberadaan kerabat keluaga, kami sekeluarga pun ke Sinak. Cukup lama kami berkeluarga tinggal di Sinak kini masuk wilayah administratif kabupaten Puncak Papua dulunya saat kita tinggal di Sinak pada tahun 2003-2007 masih termasuk wilayah Puncak Jaya 

Masa Pendidikan
Saya menyelesaikan SD (Sekolah Dasar Inpres) Ilu pada tahun 2007, melanjutkan SMP (Sekolah Menengah Pertama) Negeri 1 Ilu, Kabupaten Puncak Jaya setelah naik kelas II kami sekeluarga pun pindah ke Wamena karena orang tua pindah tugas dari guru SMP ke dinas di kabupaten Nduga pemakaran baru dari Kab. Jayawijaya, Wamena. 

Setelah pindah ke Wamena, saya pun masuk di salah satu SMP Yayasan Kristen dan mengikuti  proses belajar sudah beberapa hari, namun kepala sekolah memanggil saya dan kakak saya untuk menyanyakan (NISN) Nomor Induk Siswa Nasional kami, karena waktu kami pindah ke Wamena sekolah di Kabupaten Puncak Jaya belum diberlakukan NISN.

Alasan itu membuat kami tidak bisa melanjutkan studi dan pihak sekolah, Kepsek (Kepala Sekolah) menyuruh kami untuk membayar biaya sebesar 3 juta perorang untuk tetap belajar di sekolah itu. Waktu pun berlanjut hingga orang tua tak kunjung mendapatkan uang sehingga, kami pun  tidak bisa mendapatkan akses pendidikan di sekolah tersebut.

Akhirnya sementara, kami tinggal di luar ada malaikat tanpa sayap datang dan bertanya kepada kami kenapa anak-anak tidak sekolah lalu kami bercerita dan malaikat tanpa sayap itu ternyata guru di salah satu sekolah SMP dan menyampaikan untuk kami diikutkan ujian di sana tempat ia mengajar sekolah di Kabupaten Nduga, Distrik Yigi.

Menyelesaikan pendidikan tingkat SMP di sana dan lulus pada tahun 2009 untuk kakak saya sedangkan saya menyelesaikan pada tahun 2010 dan melanjutkan studi di salah satu sekolah Yayasan Islam (SMK) Sekolah Menengah Kejuruan di Kab.Jayawijaya, Wamena dan menyelesaikan pada tahun 2013.

Perjalanan Wamena-Yogyakarta
Pada tahun 2013, sesudah menyelesaikan studi di jenjang pendidikan SMK di sekolah yayasan Islam Wamena, Papua, Saya berangkat ke Jayapura menaiki pesawat Hercules milik TNI-AU (Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara) tiba di bandara Sentani, sesudah tiga hari di Sentani bersama keluarga di sana.

Saya ditawari untuk melanjutkan studi di Jayapura namun, tekad sudah bulat untuk melanjutkan studi di kota Yogyakarta, sehingga hari kedua sorenya saya bersama salah satu saudara pergi ke tempat pembelian tiket pesawat di Sentani untuk membeli tiket, tujuan Sentani-Yogyakarta, keesokan harinya harus terbang.

Namun, karena kurang disiplin keluarga di rumah mengantar kami ke bandara  Sentani terlambat sehingga menyebabkan kehangusan tiket Jayapura-Jogja seketika itu.

Saya putus asah karena uang sebesar Rp4.440 (empat juta empat ratus empat puluh) hanya dikembalikan sebesar Rp300 (tiga ratus ribu rupiah) saja oleh pihak maskapai membuat suasana hati saya marah, sedih, bercampur aduk dan mata saya berkaca-kaca sehingga tidak mengiraukan perkataan keluarga saya di situ.


Sehingga mereka, sekeluarga yang mengantar kami di bandara itu membelikan tiket pesawat untuk penerbangan keesokan harinya untuk saya bersama saudari perempuan berangkat ke Yogya setelah kami tiba di Jogja tepatnya di bandara Adisutjipto kami dijemput oleh seorang kakak bernama Budi Telenggen yang sudah duluan tinggal di Yogya yang juga seorang mahasiswa.


Dia membawa kami ke kontrakannya, di sana mereka tinggal dua kepala keluarga dalam satu atap kontrakan berkamar tidur 2. Berselang beberapa menit kemudian ada seorang teman kami juga yang datang dari Jayapura pada hari yang sama.


Namun, pesawat yang Ia tumpangi bedah dengan kami sesudah kami berada di rumah dan bercerita ternyata kami sama-sama dari Wamena naik ke Jayapura sama-sama tapi tidak tahu menau walaupun kami dari satu daerah, satu tujuan, sama-sama ke Jogja pada hari yang sama.


Setelah dua hari kemudian ada dua teman kami yang juga datang dengan tujuan yang sama yakni; untuk kuliah di Jogja berjalannya waktu kami pun diantarkan oleh kakak-kakak untuk mendaftar kuliah sembari menunggu hasil tes.


Kami ditampung di kontrakan itu selama kurang lebih satu bulan namun, pada akhirnya kami pun harus pindah karena masa kontraknya berakhir, ditambah lagi kondisi rumah tidak memungkinkan bisa menampung sebanyak kita yang tinggal di situ.


Dan pada akhirnya kami pun mendapatkan rumah kontrakkan sehingga kami terbagi orang menjadi dua kelompok untuk tinggal di kedua kontrakan yang berbeda, ikut dengan kedua kepala keluarga yang kita datangi tersebut, sejak kami tinggal bedah rumah itulah, saya pindah ke kos di Jalan Magelang, Dusun Kricak Kidul.


Mengingat waktu itu jarak antara kontrakan yang kami tempati dengan kampus jauh sehingga, saya memutuskan tinggal bersama seorang kakak yang lain di kos dia tempati. Kebetulan, di sana tempat yang Ia menempati masih terdapat kamar kosong. Dia juga satu atap kampusnya dengan saya. Dan kos yang kami tempati dengan kampus kami belajar jaraknya dekat bisa dijangkau dengan jalan kaki.


Kesan Menjadi Mahasiswa Papua di Yogyakarta

Selama di sana, di kos itu, saya mengalami banyak perubahan, sebagai mahasiswa baru yang pertama kali merantau-jauh dari orang tua, ditambah pendatang baru di Jogja, juga kebetulan orang Papua dan mahasiswa baru di dunia kampus mengalami culture shock banyak perubahan yang asimestris namun, apa boleh buat. 


Karena tujuan saya ada di Yogyakarta untuk belajar tidak hanya di kampus, tetapi juga kemandirian hidup, mengatur diri dan mengalami hal-hal baru sebelumnya tidak pernah saya jumpa di rumah, suka tidak suka, senang tidak senang, makan tidak makan ke kampus belajar mengerti atau tidak saya jalani dengan lapang dada.


Mengenal banyak orang, menjadi teman di kampus maupun di luar kampus, sesama Papua maupun dari daerah lain di Indonesia, mereka ikut mendewasakan saya mengalami arti kehidupan yang sesungguhnya. Sebagai mahasiswa Papua memiliki mimpi besar datang dari Papua dengan cita-cita mulia, tujuannya hanya satu belajar menempuh pendidikan di kota pelajar ini.


Menimba ilmu sebanyak-banyaknya agar kelak menjadi orang yang bermanfaat untuk sesama manusia terutama keluarga namun, sesudah sampai di Jogja  lambat laun realita  hidup membawa pada objektifitas lingkungan  mempengaruhi kehidupan saya.


Pada hal-hal esensial seperti susahnya mendapatkan indekos, kontrakan rumah beberapa tahun terakhir ini  di Jogja sangat diskriminatif  yang saya rasakan, rumah bertuliskan kos dan kontrakan dipajang dengan tulisan hanya menerima kos muslim, kadang melihat tulisan dipajang menerima kos kontrak, saya datangi dan bertanya langsung empat mata kepada pemilik mereka berkata:


"Maaf ya mas rumah ini baru saja laku dikontrak

Maaf  ya mas kamar ini sudah ada yang isi,

ada pula yang menerima khusus agama tertentu"


Terkadang mereka tak mengelak saat ditanya pada hal rumah mereka.Sembari saya jalani kegiatan belajar saya melihat Jogja seperti rumah kedua saya walaupun ada pepatah


"Daripada hujan emas di negeri orang, Lebih baik hujan batu di negeri sendiri"


Memang bukan tanpa alasan pepatah melayu ini relevan buat saya di masa kini sebagai seorang pelajar yang merantau saya melihat ada perlakuan-perlakuan yang berbeda pada hal-hal esensial dari masyarakat Yogyakarta terhadap orang Papua sengaja mereka tidak mau mengijinkan tempat tinggal (kos dan kontrakan) dengan alasan-asalan klasik seperti orang Papua sering pembuat onar, anarkis, pemabuk, ribut di tengah malam, dll.


Jika orang Papua yang mencari rumah sudah pasti warga tidak mengizinkan untuk kontrak dengan berbagai macam alasan seperti: sudah ada yang isi, tidak di kontrakan, jika dihubungi via telepon mereka bilang bisa.


Namun, beda ceritanya ketika sudah bertemu secara langsung (empat mata), mereka bilang sudah ada yang isi, ada pula bertulisan menerima kos kontrakan khusus dari latar belakang tertentu, khusus dari golongan tertentu dan tidak sedikit juga yang mengizinkan untuk mengontrak namun, konsenkuensi pada  biaya, sudah pasti, dua kali lipat dari harga normal.

 

Terdengar aneh tapi nyata tidak wajar dilihat bangunan fisiknya tidak sesuai dengan bunyi besaran rupiah. Mereka tahu orang Papua pasti kontrak. Karena hal ini esensial untuk orang-orang perantau menjadi dilematis sehingga, mau tidak mau, suka atau tidak, terpaksa membayar dan kontrak.


Apa boleh buat kenyataannya demikian, saya melihat selama studi di Yogyakarta. Hal ini serius namun diabaikan oleh orang-orang perantau lebih khusus orang Papua. Ataukah mungkin karena ada peribahasa "Dimana Bumi Dipijak, Disitu Langit Dijunjung"


Sepertinya peribahasa ini tidak tepat digunakan dalam hal-hal yang bersifat transaksional sebenarnya bisa dikompromikan namun, fakta kejadian di masyarakat terlihat demikkian. Mereka termakan dengan stereotipe belaka kemudian membuahkan praktek dogmatisasi terhadap orang Papua.


SIT ALONE AND WRITE A LIFE STORY YESTERDAY, TODAY, FOR TOMORROW YOU SEE."


Suka-Duka Kuliah di Jogja

Di kota Yogyakarta ini, untuk kalian para pencari ilmu atau traveling pendidikan sangat recommended sekali untuk kalian menjadikan Jogja sebagai destination datang dan tinggal di sini untuk menimba ilmu.


Sebab, kota Yogya siap menyambut kalian dengan berbagai penawaran ketersediaan fasilitas pendidikan, sarana dan prasarana, lingkungan yang nyaman serta ketersedian berbagai macam lembaga dan institusi pendidkan formal, semi-formal ataupun nonformal, disediakan untuk anda bergabung dan mempelajarinya asalkan fokus serta didukung dengan keuangan yang cukup.


Dan bagi kalian, anak muda yang memiliki jiwa aktivisme, Anda tidak salah pilih. Jika, Jogja Anda  jadikan tujuan pergerakan anda, sebab di Yogyakarta ini, banyak organisasi gerakan yang bisa anda gabung di kampus ataupun di luar kampus untuk belajar bertumbuh dan berdialektika serta ikut menyuarakan ketidakadilan penguasa dan masih banyak lagi, pokoknya cerita tentang Jogja tidak ada habisnya. The Best Guys. 


Sedangkan untuk merepresentasikan duka selama di Yogyakarta tidak sedikit pula duka yang saya alami dan menjalaninya. Sebenarnya hidup memang sudah seperti itu, ada suka duka, manis pahit, hitam putih manusia mengalaminya, hal itu tertulis juga dalam kitab suci  iman kristen yang saya imani. Kondisi-kondisi seperti itu sudah menjadi keharusan dan selayaknya menusia menjalani, hal ini terkonfirmasi dengan kejadian manusia pertama.


Adam dan Hawa melanggar ketetapan Tuhan sehingga mengusir mereka dan menghukum Adam dan Hawa dari Taman Eden dan berfirman, Hawa dan keturunan wanita dihukum dengan bersusah payah ketika mengandung serta rasa sakit ketika melahirkan.


Lalu, Adam dan keturunan pria dihukum dengan bersusah payah mencari rezeki. Pengusiran dan hukuman ini menjadi sejarah awal dari kehidupan manusia. Termasuk kematian manusia dan mengalami berbagai dinamika kehidupan di Yogyakarta.


Saya salah satu orang Papua di Yogyakarta sejak 2013, Saya mengalami berbagai dinamika kehidupan secara langsung yang dialamatkan kepada etnik bangsa Papua yang berstatus mahasiswa.


Kejadian-kejadian traumatik pun saya menyaksikan yang terjadi pada tahun 2017. Rekan-rekan saya kehilangan nyawa akibat mengonsumsi minuman berhalkohol dan meninggal dunia lebil dari 1 nyawa pun melayang akibat alkohol yang mengandung racun itu 


Saya seorang lulusan jurusan teknik dari fakultas teknik. Diwisudakan pada tahun 2022. Tepat Bulan Frebruari, secara daring. Sebab waktu itu, pandemi COVID-19 (Corona Virus 2019). Sekarang seorang pengangguran setelah melepaskan status sebagai seorang pelajar di salah satu Universitas swasta di kota Yogyakarta.