Pendidikan Yang Membebaskan
Oleh: Renold Ishak Dapla
Penulis adalah Pegiat Literasi Dekaibooks di Kabupaten Yahukimo, Papua
Penulis adalah Pegiat Literasi Dekaibooks di Kabupaten Yahukimo, Papua
Prolog
Akhir-akhir ini, Forum Pelajar dan Mahasiswa Wilayah Adat Lapago di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah bangkit lagi dari kevakuman forum sejak 2019 lalu, yaitu semenjak terjadinya peristiwa rasisme besar-besar di Surabaya yang kemudian berujung exodus mahasiswa Papua ke tanah air, Papua Barat. Setelah aktif dari kevakuman, agenda kolektif berlanjut kembali.
Dalam agenda forum, salah satu hal yang dilakukan sebagai rutinitas forum adalah melakukan diskusi seminggu sekali. Topik “Pendidikan Yang Membebaskan” adalah topik yang telah diangkat secara kolektif oleh forum untuk mendiskusikan pada sesi ke-3 (tiga) di Asrama Mahasiswa Yahukimo, Bantul, Yogyakarta, (23/01/2023).
Bahasan tentang pendidikan, sangatlah luas untuk melihatnya secara obyektif. Namun, di kesempatan kali ini, penulis hendak merubrik sedikit tentang “Pendidikan Yang Membebaskan”. Basis materi pendidikan yang membebaskan ini dibangun dari kedua buku yang kemudian dibaca oleh penulis, yakni; ‘’Pendidikan Kaum Tertindas dan Pendidikan Politik’’. Kedua buku ini merupakan karya Paulo Freire berasal dari Brazil. Bukunya sangat recommended.
Dalam tulisan ini, penulis hendak membahasakan tentang beberapa sub-pokok. Diantaranya adalah Pendidikan secara umum, kebebasan, dan rangkuman pendidikan ala Paulo Freire.
Pendidikan
Dalam bahasa latin, pendidikan disebut dengan educatum. E =keluar, keluar dari dalam ke-luar, Duco; perkembangan atau sedang berkembang, tuntunan. Sementara, Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Kata pendidikan berasal dari kata dasar ‘didik’ dan mendapat imbuhan ‘pe-’ dan akhiran ‘-an’, maka kata ini mempunyai arti proses atau cara atau perbuatan mendidik. Secara bahasa, pengertian pendidikan menurut KBBI adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Jadi, Secara Etimologi pengertian pendidikan adalah proses mengembangkan kemampuan diri sendiri dan kekuatan individu.
Zonareerensi.com mengulaskan, Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Dalam bahasa Inggris, pendidikan disebut dengan kata education yang juga diserap dalam bahasa Indonesia menjadi edukasi.
Secara umum, pendidikan dapat diartikan sebagai usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf hidup atau untuk kemajuan yang lebih baik. Pendidikan dapat mengembangkan karakter melalui berbagai macam kegiatan, seperti penanaman nilai, pengembangan budi pekerti, nilai agama, pembelajaran dan pelatihan nilai-nilai moral, dan lain sebagainya.
Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain, tetapi juga memungkinkan secara otodidak atau belajar sendiri. Namun umumnya pendidikan formal dibagi menjadi beberapa tahap tertentu, seperti prasekolah, sekolah dasar, sekolah menengah dan kemudian perguruan tinggi, universitas atau magang.
Bentuk pendidikan dengan hadir di sekolah adalah yang paling umum dijumpai di berbagai negara dan daerah. Ada juga sebagian kecil orang tua memilih untuk pendidikan home-schooling (pendidikan di rumah), e-learning (pendidikan online) atau yang serupa untuk anak-anak mereka karena satu dan lain alasan tertentu.
Membebaskan
Kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan, bebas merupakan lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dan sebagainya sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dan sebagainya dengan leluasa). Sementara, dalam Wikipedia menjelaskan Kebebasan adalah kemampuan untuk melakukan apa yang diinginkan, atau hak dengan anugerah dan kelebihan yang dimiliki (yaitu hak istimewa). Kebebasan, juga dapat diartikan memiliki kemampuan untuk bertindak atau berubah tanpa batasan. Sesuatu itu "bebas" jika dapat berubah dengan mudah dan tidak dibatasi dalam keadaan sekarang. Dalam filsafat dan agama, kebebasan dikaitkan dengan memiliki kehendak bebas dan keberadaan tanpa batasan yang tidak semestinya atau tidak adil, atau perbudakan, dan merupakan ide yang terkait erat dengan konsep kebebasan.
Kebebasan secara umum dimasukan dalam konsep dari filosofi politik dan mengenali kondisi di mana individu memiliki kemampuan untuk bertindak sesuai dengan keinginannya. Hal yang sama juga dalam politik modern, bahwa kebebasan adalah keadaan bebas dalam masyarakat dari kontrol atau pembatasan berupa penindasan yang diberlakukan oleh otoritas pada berbagai aspek kehidupan, mencakup cara hidup, perilaku, atau pandangan politik seseorang.
Dalam tulisan V.I. Lenin (1902) “Apa Yang Harus Dikerjakan?”-Dogmatisme dan "Kebebasan Mengkritik" menuliskan; “Kebebasan” adalah suatu perkataan agung, tetapi di bawah panji kebebasan perdagangan orang melakukan perang yang paling bersifat perampokan; di bawah panji kebebasan kerja, kaum pekerja-pekerja dirampok. Pemakaian istilah “kebebasan mengkritik” masa kini mengandung kepalsuan yang inheren itu juga. Orang-orang yang benar-benar yakin bahwa mereka telah memajukan ilmu tidak akan menuntut kebebasan bagi pandangan-pandangan baru untuk terus berdampingan dengan yang lama, tetapi menuntut penggantian pandangan-pandangan yang lama oleh yang baru. Teriakan “Hidup kebebasan mengkritik!”, yang terdengar dewasa ini, terlalu mengingatkan pada dongengan tentang tong kosong.
Tentang kebebasan ini, Rocky Gerung pun memberikan sebuah kritik tajam atas kekurangan bahasa Indonesia, bahwa bahasa Indonesia tidak mempunyai ragam kata seperti Bahasa Inggris soal kebebasan. Bahasa Inggris punya dua kata, yakni; liberty dan freedom. Kebebasan (freedom) berarti kemampuan untuk melakukan apa yang diinginkan dan apa yang memiliki kekuatan untuk dilakukan. Sementara kebebasan (liberty) berarti tidak adanya pembatasan sewenang-wenang, dengan mempertimbangkan hak-hak semua yang terlibat.
Lanjut gerung, kebebasan liberty merupakan hal yang kemudian melekat pada diri individu. Kebebasan atau dalam konsep libertarianisme adalah hak yang melekat pada diri setiap orang, ia tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Sementara, freedom adalah luas, mengatur kebebasan yang diatur secara umum. Sehingga Melihat dari sisi yang lain, sebut saja HAM dan Demokrasi soal kebebasan, bahwa liberty maupun freedom diwajibkan untuk dilindungi, menghormati dan memenuhi. Tiga hal inilah yang kemudian harus dijunjung tinggi nilainya tanpa mengurangi satu poin darinya.
Melihat dari pendapat gerung, penulis dapat mengasumsikan bahwa, kebebasan adalah hak setiap orang, termasuk orang Papua. Kebebasan liberty adalah hal yang melekat, hak istimewa individu, hak yang alamiah, hak yang ada sejak lahir. Kebebasan liberty ini diwajibkan untuk dapat dilindungi, oleh siapapun dan kapanpun. Kebebasan tidak diberikan oleh siapapun, apalagi oleh negara. Negara hanya dilindungi dengan konsep HAM dan Demokrasi, yakni; melindungi, menghormati dan memenuhi.
Rangkuman Pendidikan Ala Paulo Friere “Pendidikan yang membebaskan”
Paulo Freire lahir pada 19 September 1921 di Recife, sebuah kota pelabuhan di Brasil bagian Timur Laut, wilayah kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan penuh hormat dan cinta dia menceritakan tentang kedua orang tuanya. Ayahnya Joaquim Temistocle Freire adalah seorang anggota polisi militer di Pernambuco yang berasal dari Rio do Norte. Dia pengikut aliran kebatinan, tanpa menjadi anggota dari agama resmi.baik budi, cakap, dan mampu untuk mencintai. Ibunya Edeltrus Neves Freire berasal dari Pernambuco, beliau beragama katolik, lembut, baik budi, dan adil. Merekalah dengan contoh dan cinta mengajarkan kepada Paulo Freire untuk menghargai dialog dan menghargai pendapat orang lain.
Tertinggal dua tahun dibandingkan teman-teman sekelasnya, pada umur lima belas tahun dia lulus dengan nilai pas-pasan untuk dapat masuk sekolah lanjutan. Namun, setelah situasi keluarganya agak membaik, Paulo freire mampu menyelesaikan pendidikan sekolah lanjutan dan masuk Universitas Recife dengan mengambil fakultas hukum. Dia juga belajar filsafat dan psikologi bahasa sambil menjadi guru penggal-waktu bahasa portugis di sekolah lanjutan. Pada waktu itu dia banyak membaca karya-karya dibidang yang diminatinya tersebut. Disamping pengaruh-pengaruh yang disebut shaull, dia juga dipengaruhi oleh banyak pengarang lainnya.
Saat ini, Paulo Freire juga tergolong kaum cendikiawan atau ilmuan yang produktif dan berpikiran tajam. Gagasan dan pemikirannya dibangun dengan cukup kokoh karena didasarkan kemampuan dan ketajamannya melihat masalah yang tengah dihadapi masyarakat.
Apa yang mengingini Paulo Freire tentang Pendidikan?
Pendidikan menurut Paulo Freire harus berorientasi untuk membebaskan manusia dari kungkungan rasa takut dan tertekan akibat otoritas kekuasaan (penindasan). Konsep yang ditawarkan oleh Freire ini, secara ideal mestinya mampu menjadi solusi atas bentuk-bentuk ketimpangan sistem pendidikan kita, baik secara teoritik maupun praktik di lapangan.
Pendidikan kaum tertindas harus diciptakan bersama dengan dan bukan untuk kaum tertindas dalam perjuangan memulihkan kembali kemanusiaan yang telah dirampas. Pendidikan kaum tertindas harus merupakan perjuangan melawan penindasan dalam situasi dimana dunia dan manusia beradalam interaksi. Oleh karena itu,dalam perjuangan ini diperlukan praksis yang merupakan sebuah proses interaksi antara refleksi dan aksi, salah satu faktor Penting dalam gerakan pembebasan adalah perkembangan kesadaran.
Menurut Paulo Freire, dalam konsep pendidikan gaya bank, pengetahuan adalah merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap diri berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa. Menganggap bodoh secara mutlak pada orang lain, sebuah ciri dari ideologi penindasan, berarti mengingkari pendidikan dan pengetahuan sebagai proses pencarian. Tidaklah mengherankan jika konsep pendidikan gaya bank memandang manusia sebagai makhluk yang dapat disamakan dengan sebuah benda dan gampang diatur.
Dalam “pendidikan hadap masalah” itu guru belajar dari murid dan murid belajar dari guru. Guru menjadi rekan murid yang melibatkan diri dan merangsang daya pemikiran kritis para murid. Dengan demikian kedua belah pihak bersama-sama mengembangkan kemampuan untuk mengerti secara kritis dirinya sendiri dan dunia tempat mereka berada. Mereka akan melihat bahwa dunia bukan merupakan realitas yang statis, melainkan suatu proses “menjadi”, makhluk yang belum selesai, yang berada dalam dan dengan kenyataan yang belum selesai. “Pendidikan hadap masalah” senantiasa membuka rahasia realitas yang menantang manusia dan kemudian menuntut jawaban terhadap tantangan itu. Jawaban terhadap tantangan membawa manusia kepada diksi yang utuh.
Dialog tidak dapat berlangsung, bagaimanapun, tanpa adanya rasa cinta yang mendalam terhadap dunia dan terhadap sesama manusia. Di pihak lain, dialog tidak dapat terjadi tanpa kerendahan hati. Dialog selanjutnya menuntut adanya keyakinan yang mendalam terhadap diri manusia, keyakinan pada kemampuan manusia untuk membuat dan membuat kembali, untuk mencipta dan mencipta kembali, keyakinan pada fitrahnya untuk menjadi manusia seutuhnya yang bukan hak istimewa sekelompok elite, tetapi hak kelahiran semua manusia. Keyakinan terhadap diri manusia adalah sebuah prasyarat a priori bagi dialog, “manusia dialogis” percaya pada orang lain bahkan sebelum dia bertatap muka dengannya.
Dialog juga tidak dapat terjadi tanpa adanya harapan. Harapan berakar pada ketidaksempurnaan manusia, dari mana mereka secara terus-menerus melakukan usaha pencarian – pencarian yang hanya dapat dilakukan dalam kebersamaan dengan orang lain. Pendidikan yang dialogis, yakni guru-yang-murid dari model hadap – masalah, isi bahan pelajaran dalam pendidikan bukanlah sebuah hadiah atau pemaksaan potongan-potongan informasi yang ditabungkan ke dalam diri para murid, tetapi berupa “penyajian kembali” kepada murid tentang hal-hal yang ingin mereka ketahui lebih banyak, secara tersusun, sistematik dan telah dikembangkan. Penelitian dari apa yang saya istilahkan “dunia tema” (thematic universe) rakyat-sebagai kompleks dari “tema-tema generatif” (generative themes) – mengesahkan dialog pendidikan sebagai praktik kebebasan.
Freire mengambil ide pembebasan (emancipatory) dari versi filsafat sekuler dan religius di dalam inti pemikiran kaum borjuis. Kemudian dia juga memasukkan pemikiran-pemikiran yang radikal ke dalam bukunya, tetapi tentu saja tidak menerima begitu saja permasalahan yang dibidik dari kacamata kelompok radikal itu, karena mereka sudah menodai sejarah. Pendeknya, Freire telah mengkombinasikan bahasa kritik dan bahasa alternatif (the language of possibility).
Buku yang memuat surat-surat Freire yang padat dan logis alur berpikirnya, bukan hanya akan memperluas wawasan pembaca yang bersifat substansial dalam memandang karya-karya Freire, tetapi juga akan memperjelas pemahaman atas pandangan-pandangan Freire dan menempatkannya secara lebih proporsional, terutama bagi mereka yang menganggap Freire sebagai orang yang menakutkan dan tidak menyenangkan, bukannya sebagai orang yang sangat gentle, terbuka dan penuh dengan kasih sayang yang dikenal secara singkat baik di kalangan teman-temannya dan anak-anak. Selain itu juga berisi tulisan Freire yang sangat dilematik. Lebih dari itu, buku ini menguak kedirian Freire melalui teman- teman dan Elza istrinya dalam kondisi khusus dan dalam ikatan emosional dengan pendidik-pendidik lainnya.
Pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan lebih menonjolkan permasalahan sosial. Sebagai realitas sosial, ilmu pengetahuan bukan barang yang hanya dimiliki oleh segelintir orang, tetapi kemampuan atau keterampilan untuk melihat dan mengerti kenyataan melalui bahasa yang tepat. Pada tahap ini, secara tidak langsung, teori Freire membongkar positivisme ilmu pengetahuan Barat yang mengasumsikan bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang positif, tetap dan pasti. Freire juga mengakui bahwa pendidikan juga merupakan momen kesadaran kritis manusia terhadap berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat.
Freire berpendapat bahwa pendidikan yang membebaskan memang harus dijadikan sebagai pendidikan humanis dan libertarian (merdeka).21 Untuk itu maka pendidikan harus menjadi jalan menuju pembebasan umat manusia, karena tujuan tertinggi manusia adalah humanisasi. Sedangkan humanisasi dalam pengertian Freire bukanlah pencarian kebebasan individu semata, melainkan (karena tujuan humanisasi) sosial.
Penjelasan kongkrit Paulo tentang hubungan antara guru, murid dan isi materi adalah sebagai berikut:
Guru
Tugas para pendidik progresif revolusioner, menurut Freire, membuka kesempatan dan menumbuhkan harapan kepada peserta didik. Disamping itu juga bisa mencarikan cara yang tepat bagi peserta didik untuk belajar, dan bantuan yang paling tepat dan bisa ditawarkan kepada peserta didik, sehingga mereka dapat memerankan diri sebagai subjek belajar selama mengikuti pendidikan untuk memberantas buta huruf.
Murid
Pendidikan yang membebaskan adalah sebuah model pendidikan yang peserta didik bisa berperan aktif dalam proses belajar yang sedang berlangsung. Seorang guru / pendidik yang lebih berperan aktif dalam proses belajar mengajar dinilai tidak membuat peserta didik kurang bisa berkembang dengan baik dalam menjalani proses pendidikan.
Isi Materi/ Pelajaran
Menurut Freire, isi pelajaran atau kurikulum memang senantiasa harus dikritisi. Pendidik dan peserta didik perlu bekerja sama dalam menentukan isi yang mau dipelajari. Dalam pendidikan hadap masalah problem posing dengan jelas bahan itu ditentukan peserta didik sementara pendidik mengambil keadaan dari situasi hidupnya. Pendidik seharusnya mengemban transformatif dengan cara “berdialog dengan yang lain” bukan berusaha mewakilinya. Hubungan yang ideal antara pendidik dan peserta didik bukanlah hierarkikal sebagaimana dalam “pendidikan gaya bank”, tetapi merupakan hubungan dialogikal.
Pendidikan bagi Freire, adalah jalan menuju pembebasan umat manusia yang permanen dan terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah masa dimana manusia menjadi sadar akan pembebasan mereka dan melalui praksis merubah kesadaran itu. Tahap kedua dibangun atas yang pertama dan merupakan sebuah proses tindakan kultural yang memang benar-benar membebaskan.
Kesadaran subjektif dan kemampuan objektif adalah suatu fungsi dialektis yang tetap dalam diri manusia hubungannya dengan kenyataan yang saling bertentangan yang harus dihadapinya. Memandang kedua fungsi ini tanpa dialektika semacam itu menjebak dalam kerancuan berpikir. Objektivitas pada pengertian si penindas bisa saja berarti subyektifitas pada pengertian si tertindas dan sebaliknya. Jadi hubungan dialektis tersebut tidak berarti persoalan mana yang lebih benar atau lebih salah.
Menurut Freire bahwa melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang konstan, yaitu: 1) Pengajar. 2) Pelajar atau anak didik 3) Realitas dunia.Yang pertama dan yang kedua adalah subjek yang sadar (cognitive), sementara yang ketiga adalah objek yang disadari atau disadari (cognizable). Lebih jelasnya, yang melandasi pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan pembebasan yaitu realitas yang dialami sebagian besar manusia yang menderita lantaran ketidakadilan dan pendistorsian nilai-nilai kemanusiaan. Untuk itu Freire berusaha untuk rehumanisasi agar tidak menjadi produk “budaya bisu”. Bagi Freire pendidikan harus berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan realitas diri sendiri secara subjektif dan objektif.
Pendidikan menurut Paulo Freire harus berorientasi untuk membebaskan manusia dari kungkungan rasa takut dan tertekan akibat otoritas kekuasaan (penindasan)24. Konsep yang ditawarkan oleh Freire ini, secara ideal mestinya mampu menjadi solusi atas bentuk-bentuk ketimpangan sistem pendidikan kita, baik secara teoritik maupun praktik di lapangan.