Pemberantasan Aksara: Dari Mana Kita Memulai ? - Explore Kwaya
Selamat Datang di Blog Explore Kwaya

Friday, December 8, 2023

Pemberantasan Aksara: Dari Mana Kita Memulai ?

Foto Ilustrasi Pixabay.Com


Pendahuluan

Manusia dapat memahami dunia dengan bentuk interaksi. Interaksi adalah suatu sentuhan batin dan fisik antara manusia maupun juga hewan, dan interaksi ini diciptakan dengan dialog. Dialog dihidupkan oleh huruf, kata, kalimat dan paragraf. Masalah yang diciptakan oleh manusia, bencana alam, hukum alam, dan lainnya dapat ditentukan oleh manusia, sebab hanya manusialah yang punya akal sehat (Doug Lorimer) untuk memahami segala jenis problem, terlebih khususnya masalah tentang interaksi dan dialog. Dalam konteks manusia, ini bukan lebih mementingkan tentang antroposentris dan lupakan biosentris, namun ini hanya mempertegas saja soal siapa yang memiliki fungsi akal sehat dan siapa yang hanya bersifat insting untuk dapat mengendalikan isi bumi.

Pembatasan

Aksara juga merupakan bagian masalah terpenting dalam hidup untuk mesti dibahas secara detail. Aksara dapat dihidupkan oleh manusia dengan akal sehatnya. Sehingga, pertanyaan dari mana memulai untuk berantas buta huruf ini dapat menjabarkan dalam pembahasan.

Pembahasan 

Dalam tulisan ini, penulis membatasi diri, tentang poin yang membahas adalah hanya beberapa poin, sebut saja empat poin penting, yakni: Apa itu aksara, Penjelasan Paulo freire tentang aksara, Menjawab: Dari mana kita mulai pemberantasan aksara?, Sampai dimana tanggung jawab guru terhadap murid tentang aksara?, dan menarik sebuah Kesimpulan penulis tentang aksara. Dalam ruangan ini, penulis akan menjabarkan tentang empat poin atau tema penting yang diambil diatas. Mari, penulis mengajak para pembaca yang Budiman untuk bisa baca, mengerti, lalu menulis ulang kembali, sebab pembaca yang baik adalah penulis ulang yang baik pula.

1. Apa itu aksara?

Dalam KBBI menjelaskan, bahwa aksara merupakan "suatu sistem tanda grafis yg digunakan manusia untuk berkomunikasi". Dalam hitungan, telah ada sebanyak 26 huruf, yang terdiri dari 5 huruf mati dan 21 huruf hidup. Untuk mengenal akan 26 huruf, manusia membutuhkan lebih banyak waktu agar dapat memberantas aksara yang terus masif terjadi di negara dunia ketiga. Pada bagian ini, yakni mengenal akan huruf untuk anak, guru dan orang tua menjadi fasilitator agar anak yang tak mengenal aksara dapat mengenal dan melafal tapi juga mengerti tentang huruf per huruf.

2. Penjelasan Paulo freire tentang aksara 

Dalam buku The political of education: culture, power, and liberation (Freire, 1999). Bab II, sebuah pandangan kritis dalam pemberantasan buta huruf mejelaskan bahwa: pemberantasan buta huruf bukan suatu racun, penyakit, bisul, dan atau, pemberantasan buta huruf bukan personal linguistik, persoalan pendidikan, atau suatu metodologi yang eksklusif. Tetapi akarnya adalah persoalan politik. Karena melek huruf itu sebagai buah dari kampanye pemberantasan buta huruf, sebuah upaya mencerdaskan yang naif, atau licik itu secara substansial justru melanggengkan kekuasaan yang ada.

Paulo freire mempertegas, agar masalah pendidikan ini tergantung pada keluasan pengetahuan dan ketajaman analisa pihak-pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan. Jika pengetahuan terbatas, mungkin karena tidak mengerti, maka solusi yang diterapkan hanya bersifat mekanis. Artinya, pelajaran membaca direduksi menjadi tindakan mekanis untuk menyetorkan kata-kata. Hemat penulis ketika mengamati racikan freire, bahwa konsep pendidikan yang dibangun sebenarnya secara umum. Konsep pendidikan yang digagas Paulo ini sebenarnya memberikan ultimatum kepada pemimpin negara untuk merubah sistem. Budaya lama yang digunakan di Brazil mesti buang dan membangun budaya baru. Lebih khususnya budaya pendidikan.

Bila budaya pendidikan freire ini di transfer ke negeri kita, Indonesia, itu sangat sulit hari ini. Hal ini dilihat dari pendidikan Indonesia yang bergaya kapitalistik. Sehingga, salah satu contoh dari rakyat Papua kepada negara, tuntutan tentang ham juga bagian dari pendidikan berbasis budaya yang tak dilindungi dan tak di terapkan di Papua. Sehingga rakyat Papua dengan jelas meminta HMNS untuk membangun pendidikan yang bersih.

3. Menjawab: Dari mana kita mulai pemberantasan aksara?

Mari kita berjalan-jalan ke rumah dimana diri kita berada. Kita renungkan dan membayangkan tentang rumah dan diri kita. Lalu, menjawab dalam benak diri kita; kita tinggal di lingkungan ini, yaitu lingkungan yang maraknya penuh dengan kelaparan, lingkungan yang orang-orangnya terus malas-malasan, lingkungan yang tak terlepas dari keributan, lingkungan rumah yang tinggalnya bercampur aduk antara orang dewasa dan anak-anak.

Ketika terjadi kelaparan di lingkungan kita, maka orang tuanya tidak melihat anak untuk membawa anaknya dalam ruangan yang bisa memberikan pelajaran otodidak. Ketika orang-orang di rumah itu malas, maka pastinya Takan punya banyak waktu untuk memberi kesempatan anak untuk belajar mengenal huruf. Ketika lingkungan itu terjadi keributan, tentu saja anak-anaknya tidak akan belajar mengenal huruf secara fokus. Ketika kita berada di wilayah yang orang-orangnya banyak, maka orang tua pun tak akan mengatur waktu untuk memberi anak kesempatan belajar.

Dimana benang merah tentang aksara dan buta huruf? Menurut hemat penulis, bahwa benang merah tentang aksara dan buta huruf adalah dua: pertama adalah ketidakjelasan orang tua untuk mendidik anak secara baik, dan kedua adalah guru-guru di sekolah tidak konsisten untuk mengajari anak muridnya. Dua poin diatas ini, di jawab dengan pertanyaan (5 W + 1 H); What, where, when, who, why dan How. Untuk apa harus melakukan pemberantasan Aksara? Diman mempelajari pemberantasan Aksara? Kapan akan memberikan pelajaran tentang aksara? Dengan siapa mempelajari aksara? Kenapa harus mempelajari pemberantasan Aksara? Dan bagaimana penyelesaiannya?

Bentuk jawaban penulis adalah; untuk anak mengetahui ketertinggalan huruf. Tempat yang diwajibkan anak untuk belajar adalah di rumah, di sekolah, atau di tempat yang paling nyaman bagi anaknya. Orang-orang yang bersama anak untuk belajar aksara adalah orang tua, guru, individu yang sebagai pemerhati pemberantasan Aksara, lembaga advokasi pemberantasan Aksara, dan kelompok belajar aksara. Kenapa dan mengapa anak harus tau aksara, karena setiap orang diwajibkan (anak) untuk belajar, mengenal diri, keluar dari kebodohan aksara. Bagaimana? Dengan cara budayakan kefokusan hari orang tua dan guru sebagai fasilitator agar dapat mengenal huruf secara detail.

Bagian terpenting dari pemberantasan Aksara juga adalah membuka taman baca, perpustakaan mini di kamar, buat agenda diskusi, mencari kawan se-visi, menyatukan ide, gagasan, kelompok belajar khusus dan umum, membagi kelompok belajar dan lainnya.

4. Sampai dimana tanggung jawab guru (negara) terhadap murid tentang aksara?

Pada umumnya, lebih banyak guru-guru di Indonesia dan Papua terus menerapkan sistem budaya pendidikan yang lama, yaitu kurikulum 1-13. Bila diukur pendidikan Indonesia hari ini dengan tenaga guru tentang metode Hajar, maka ia (guru) lebih banyak menggunakan kurikulum ketimbang sifat atau metode fleksibel. Kurikulum pendidikan Indonesia sangat cocok bagi murid di Jawa, Bali, Sumatra dan Sulawesi, tetapi sangat tidak cocok lagi murid di Papua, itu disebabkan karena lintas budaya.

Terbukti, orang Papua sangat susah dalam pemperolehan teori, tapi bisa dan berani dalam hal praktis. Hal ini, budaya orang Papua adalah praktik, langsung turun lapangan, kerja, itu adalah budaya. Tetapi kurikulum pendidikan Nasional Indonesia membawa masuk dan mengikat  orang Papua pada budaya yang lain, akhirnya susah, yang pada ujungnya telah dan terus terjadi kemiskinan. Tanggung jawab guru adalah memang memberi pelajaran, tapi sayangnya dia terus mengikuti budaya pendidikan Nasional Indonesia kepada siswa di Papua, yang sebenarnya sangat tidak cocok bagi siswa Papua Barat itu.

5. Kesimpulan 
Melihat dari pembahasan di atas ini, freire membahas secara umum soal pendidikan di Brazil. Bila metode freire ini diterapkan di Indonesia, pastinya sangat sulit, karena teks Paulo freire hanya di tafsirkan bagi rakyat miskin di Brazil sesuai budaya Brazil. Jika metode freire itu tetap digunakan untuk memberantas aksara, maka seharusnya Indonesia membagikan metode pendidikan sesuai budaya Indonesia yang beragam.
Aksara akan merdeka, ketika pendidikan non formal diajarkan secara konsisten. Bahkan juga, guru di sekolah menggunakan metode fleksibel sesuai lintas budaya.
Penulis adalah pemerhati literasi di Yahukimo.

Sumohai, 06 Desember 2023
#NP