Puncak Papua: Kekerasan Militer Indonesia
Tulisan ini penah dimuat di blog pribadinya dan diupload kembali disini atas ijin penulis
Pembukaan
Bagaimana kronologi pemerkosaan oleh TNI
di distrik Agandugume pada April 2021?
8 April 2021, sekitar jam 12.00 - 13.00 WIT, telah
terjadi pemerkosaan terhadap dua perempuan di jalan penghubung distrik Lambewi
ke distrik Sinak, Kabupaten Puncak Papua, oleh Tentara Nasional Indonesia
(TNI). Kejadian ini berawal ketika, kedua perempuan berinisial NW (45 ) dan WT (21) menuju distrik Sinak untuk membeli
sembako. Perjalanan dari distrik Lambewi menuju distrik Sinak kira-kira 36 jam
berjalan kaki, salah satu distrik yang harus dilewati yaitu distrik Agandugume.
Setelah 6 jam perjalanan, NW dan WT dari rumah, distrik Lambewi, mereka dicegat
oleh 42 personel, TNI (Komando Maleo). 42 anggota tersebut melakukan intimidasi
dan pemborgolan tangan lalu berujung pemerkosaan. setelah peristiwa pemerkosaan
itu, keduanya dalam keadaan telanjang diperintah oleh TNI untuk pulang ke
distrik Lambewi. kedua perempuan malang, berlari sekitar 5-6 jam
perjalanan ke distrik asal mereka, kemudian bertemu masyarakat untuk
menceritakan tragedi intimidasi dan pemerkosaan terhadap mereka.
Apa batasan saya dari tulisan ini?
Tulisan
ini saya tujukan pada masyarakat luas, berdasarkan kasus di atas sebagai
pemantiknya, bahwa pemerkosaan dan intimidasi terhadap perempuan Papua oleh TNI
masih masif terjadi, namun jauh dari pemberitahuan publik. Hal ini disebabkan
akses informasi yang ditutup oleh pemerintah Indonesia. Tujuannya perampasan
tanah adat berujung pada pembunuhan, pemerkosaan, dan intimidasi terhadap
masyarakat di Papua khususnya kab. Puncak Papua. Saya akan menjelaskan secara
singkat konflik antara masyarakat Papua dengan militer (organik/ non organik)
di Kab. Puncak. Saya akan menjelaskan dampak yang disebabkan oleh militer
sehingga melanggar hak asasi manusia. Terakhir menyelesaikan serta
alternatif penyelesaian konflik bersenjata.
1977
TNI pertama kali memasuki daerah Kuyawage, akibat operasi militer pencarian
anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (baca: TPN-PB).
Namun prakteknya kekerasan dilakukan terhadap masyarakat sipil. TNI
membunuh secara brutal, membakar rumah, membunuh ternak babi, memperkosa
perempuan dan menyebarkan intimidasi serta teror terhadap
masyarakat. Kondisi ini terus berlanjut hingga kini, 2023. Penyebaran militer
bersamaan dengan pembangunan infrastruktur, pemekaran wilayah
administrasi baru, transmigran, dan eksplorasi sumber daya alam di wilayah
pegunungan Papua.
Di mana letak administrasi kabupaten Puncak Papua?
Kabupaten
Puncak Papua terletak di kawasan pegunungan di pulau Papua, kabupaten ini
disahkan pada 4 Januari 2008. Kabupaten Puncak Papua adalah hasil pemekaran dari
Kabupaten Puncak Jaya. Jumlah penduduk tahun 2020 berjumlah 175,901 jiwa.
secara adat, Kabupaten Puncak berada di wilayah adat Lapago. Kabupaten Puncak
Papua memiliki 25 distrik dan 248 kampung, yang didiami oleh 6 suku di
dalamnya. Nama distrik di Puncak Papua, Agandugume,
Amungkalpia, Beoga, Beoga Barat, Beoga Timur, Bina, Dervos, Doufo, Erelmakawia,
Gome, Gome Utara, Ilaga, Ilaga Utara, Kembru, Lambewi, Mabugi, Mage Bume,
Ogamanim, Omukia, Oneri, Pogoma, Sinak, Sinak Barat, Wangbe dan Yugumuak. Kabupaten ini juga merupakan salah satu lokasi
konflik bersenjata antara Tentara Nasional Indonesia/kepolisian RI dan Tentara
Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB). (Sumber Wikipedia)
Bagaimana aktivitas sehari-hari
masyarakat di sana?
Dahulu sebelum adanya Pemerintahan Indonesia (Kabupaten
Puncak Papua), masyarakat tradisional memiliki aktivitas sehari-hari
yaitu: menanam umbi-umbian, sayur-sayuran, kelapa hutan, dan kacang-kacangan,
kubis, dan kentang. Peternakan yang dibudidayakan ialah babi, ayam dan kelinci.
masyarakat tradisional biasanya melakukan perburuan hewan misalnya kuskus, babi
hutan, ikan dan udang. Masyarakat pada distrik Lambewi dan Agandume memiliki
aktivitas bertani, beternak dan berburu seperti masyarakat di Kab. Puncak
lainnya. selain dari alam masyarakat memperoleh bahan makanan (sembako),
mereka harus menempuh perjalanan jauh ke distrik Sinak, kurang lebih 36
jam berjalan kaki.
Masyarakat tradisional di distrik Lambewi dan Agandugume
sebelumnya tidak tergantung pada sembako, melainkan alam. Makanan dari alam
seperti: ubi jalar, kubis, kentang. kacang, dan kelapa utang. Makanan ini,
mereka tanam sendiri untuk konsumsi sehari-hari. Akibat pemekaran wilayah baru,
operasi militer, pembangunan infrastruktur yaitu ketergantungan masyarakat
terhadap beras, gula-kopi, dan lain-lain (sembako). Masalah ini, berawal
sejak Aneksasi (1963) Papua oleh Indonesia. Pada umumnya laki-laki dan perempuan bekerja sama untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. secara kolektif mereka bekerja mengelola
kebun, merawat anak dan menjaga tanah leluhur. Posisi perempuan dalam
masyarakat sangat dihormati, sebagai subjek dari suku, dan kodratnya yaitu
melahirkan dan menyusui anak. Kondisi sosial ini menjelaskan, jika ada
pemerkosaan terhadap perempuan, maka, pemerkosa merendahkan martabat
suku/komunitas.
Mengapa ada konflik bersenjata di Puncak
Papua?
Sejarah pulau Papua dijajah oleh Indonesia pada 1 Mei 1963,
Aneksasi. Aneksasi adalah proses penggabungan paksa suatu wilayah atau bangsa.
Penyerahan wilayah Papua kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada
1 Mei 1963 dilakukan sesuai kesepakatan bersama antara Indonesia, Belanda,
Amerika Serikat pada 15 Agustus 1962 di New York agreement. Dalam pertemuan
tersebut sepakati, dalam satu tahun kemudian (1963) dilakukan peralihan
kekuasaan administrasi pemerintahan di Papua dari otoritas pemerintahan
sementara Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) kepada pemerintah Indonesia. Sebelum aneksasi Papua, Indonesia melakukan operasi militer,
Tri Komando Rakyat (TRIKORA). TRIKORA dikumandangkan pada 19 Desember 1961, di
Alun-Alun Yogyakarta, oleh presiden RI Ir.Soekarno, yang isinya sebagai
berikut: pertama, gagalkan pembentukan Negara Papua buatan Belanda.
Kedua, kibarkan bendera merah putih di seluruh Tanah Papua. Ketiga, bersiaplah
untuk mobilisasi umum di tanah Papua,kemudian operasi militer dilakukan pada
tahun 1962.
Selain, Operasi TRIKORA terdapat 15 operasi militer indonesia di
tanah Papua yaitu; operasi wisnumurti I dan II (1963-1964), operasi Wisnumurti
III dan IV (1964-1966), Operasi Bratayudha (1966), Operasi Bharatayuda dan
Wibawa (1968), Operasi Pamungkas (1970-1974), Operasi Kikis (1977-1978),
operasi sapu bersih (1978-1982), operasi Sate (1984), operasi Gelak I
(1985-1986), operasi Galak II (1986-1987), operasi Kasuari I dan II
(1987-1989) operasi Rajawali (1989-1991), operasi pengamanan daerah rawan
(1998-1999), operasi pengendalian pengibaran bendera Bintang Kejora
(1999-2002), operasi penyisiran di Wamena (2002-2004). Operasi militer, perampasan lahan, pemerkosaan, intimidasi,
pembunuhan ialah praktik penjajahan yang terjadi di Papua. Militer Indonesia
dengan kekuatan bersenjata meloloskan kepentingan perampasan lahan. Hal ini
menjadi alasan masyarakat mengkonsolidasikan diri untuk melawan pendudukan paksa
Indonesia, melalui gerakan bersenjata. Wilayah Puncak Papua sebagai tempat
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB).
Dampak dari operasi militer Indonesia di atas, mengakibatkan
ratusan ribu rakyat Papua kehilangan nyawa, puluhan ribu rakyat papua mengungsi
ke hutan dan ke PNG, kehilangan harta benda dan rumah disertai intimidasi,
pemerkosaan, teror, dan penangkapan yang terjadi terhadap rakyat
Papua. Dampak operasi militer di atas juga mengakibatkan banyak perempuan
kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian, melahirkan dan menyusui anak di
hutan, dan mengalami pemerkosaan dan penyiksaan hingga berujung
penghilangan nyawa secara paksa oleh militer indonesia. Salah satu kasus pemerkosaan dan intimidasi yang terjadi,
pada 8 April 2021 di distrik Agandugume ialah praktik kekerasan militer.
Trauma, luka fisik, rasa tidak berdayah menjadi beban seumur hidup bagi
korban. Kasus ini, menimbulkan perlawanan dari masyarakat setempat. Bagi
masyarakat setempat pemerkosaan dan intimidasi sama halnya dengan menginjak hak
dan martabat.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(KOMNAS PEREMPUAN) merilis 10 hak dasar perempuan Papua yang dilindungi
konstitusi dan undang-undang. 10 hak dasar tersebut yaitu: Hak bebas dari
kekerasan dan penyiksaan, hak atas kemudahan dan perlakuan khusus, hak atas
kepastian hukum keadilan dan reparasi, hak atas kehidupan yang layak, hak atas
lingkungan hidup yang berkelanjutan, hak atas kesehatan dan pemulihan, hak atas
pendidikan dan profesi, hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan,
hak perempuan dalam adat, hak perempuan dalam pembela HAM. Kasus ini menunjukan
negara menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan Papua.
Penutup
Kekerasan militer terhadap perempuan Papua khususnya kab.
Puncak akan terus berlanjut selama operasi militer masih terjadi. Alternative
pembebasan dari kekerasan militer Indonesia terhadap rakyat Papua yaitu; harus
kembalikan hak dan kebebasan oleh negara.
Referensi:
https://suarapapua.com/