Puncak Papua: Kekerasan Militer Indonesia - Explore Kwaya
Selamat Datang di Blog Explore Kwaya

Friday, March 3, 2023

Puncak Papua: Kekerasan Militer Indonesia


Ilustrasi Kekerasan Seksual, Pelecehan Seksuan-(Suara.com/Ema Rohimah)
'66843-ilustrasi-kekerasan-seksual-pelecehan-seksual-suaracomema-rohimah.jpg' gagal diupload. TransportError: There was an error during the transport or processing of this request. Error code = 103, Path = /u/1/_/BloggerUi/data/batchexecute
Oleh: Nius Telenggen
Tulisan ini penah dimuat di blog pribadinya dan diupload kembali disini atas ijin penulis

Pembukaan
Bagaimana kronologi pemerkosaan oleh TNI di distrik Agandugume pada April 2021?

8 April 2021, sekitar jam 12.00 - 13.00 WIT, telah terjadi pemerkosaan terhadap dua perempuan di jalan penghubung distrik Lambewi ke distrik Sinak, Kabupaten Puncak Papua, oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Kejadian ini berawal ketika, kedua perempuan berinisial  NW (45 ) dan WT (21) menuju distrik Sinak untuk membeli sembako. Perjalanan dari distrik Lambewi menuju distrik Sinak kira-kira 36 jam berjalan kaki, salah satu distrik yang harus dilewati yaitu distrik Agandugume. Setelah 6 jam perjalanan, NW dan WT dari rumah, distrik Lambewi, mereka dicegat oleh 42 personel, TNI (Komando Maleo). 42 anggota tersebut melakukan intimidasi dan pemborgolan tangan lalu berujung pemerkosaan. setelah peristiwa pemerkosaan itu, keduanya dalam keadaan telanjang diperintah oleh TNI untuk pulang  ke distrik Lambewi. kedua  perempuan malang, berlari sekitar 5-6 jam perjalanan ke distrik asal mereka, kemudian  bertemu masyarakat untuk menceritakan tragedi intimidasi dan pemerkosaan terhadap mereka. 

Apa batasan saya dari tulisan ini?

Tulisan ini saya tujukan pada masyarakat luas, berdasarkan kasus di atas sebagai pemantiknya, bahwa pemerkosaan dan intimidasi terhadap perempuan Papua oleh TNI masih masif terjadi, namun jauh dari pemberitahuan publik. Hal ini disebabkan akses informasi yang ditutup oleh pemerintah Indonesia. Tujuannya perampasan tanah adat berujung pada pembunuhan, pemerkosaan, dan intimidasi terhadap masyarakat di Papua khususnya kab. Puncak Papua. Saya akan menjelaskan secara singkat konflik antara masyarakat Papua dengan militer (organik/ non organik) di Kab. Puncak. Saya akan menjelaskan dampak yang disebabkan oleh militer sehingga  melanggar hak asasi manusia. Terakhir menyelesaikan  serta alternatif penyelesaian konflik bersenjata.

1977 TNI pertama kali memasuki daerah Kuyawage, akibat operasi militer pencarian anggota Tentara Pembebasan  Nasional  Papua Barat (baca: TPN-PB). Namun  prakteknya kekerasan dilakukan terhadap masyarakat sipil. TNI membunuh secara brutal, membakar rumah, membunuh ternak babi, memperkosa perempuan dan menyebarkan  intimidasi serta  teror terhadap masyarakat. Kondisi ini terus berlanjut hingga kini, 2023. Penyebaran militer bersamaan dengan pembangunan  infrastruktur, pemekaran wilayah administrasi baru, transmigran, dan eksplorasi sumber daya alam di wilayah pegunungan Papua. 

Di mana letak administrasi kabupaten Puncak Papua?

Kabupaten Puncak Papua terletak di kawasan pegunungan di pulau Papua, kabupaten ini disahkan pada 4 Januari 2008. Kabupaten Puncak Papua adalah hasil pemekaran dari Kabupaten Puncak Jaya. Jumlah penduduk tahun 2020 berjumlah 175,901 jiwa. secara adat, Kabupaten Puncak berada di wilayah adat Lapago. Kabupaten Puncak Papua memiliki 25 distrik dan 248 kampung, yang didiami oleh 6 suku di dalamnya. Nama distrik di Puncak Papua, Agandugume, Amungkalpia, Beoga, Beoga Barat, Beoga Timur, Bina, Dervos, Doufo, Erelmakawia, Gome, Gome Utara, Ilaga, Ilaga Utara, Kembru, Lambewi, Mabugi, Mage Bume, Ogamanim, Omukia, Oneri, Pogoma, Sinak, Sinak Barat, Wangbe dan Yugumuak. Kabupaten ini  juga merupakan salah satu lokasi konflik bersenjata antara Tentara Nasional Indonesia/kepolisian RI dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB). (Sumber Wikipedia)

Bagaimana aktivitas sehari-hari masyarakat di sana?

Dahulu sebelum adanya Pemerintahan Indonesia (Kabupaten Puncak Papua),  masyarakat tradisional memiliki aktivitas sehari-hari yaitu: menanam umbi-umbian, sayur-sayuran, kelapa hutan, dan kacang-kacangan, kubis, dan kentang. Peternakan yang dibudidayakan ialah babi, ayam dan kelinci. masyarakat tradisional biasanya melakukan perburuan hewan misalnya kuskus, babi hutan, ikan dan udang. Masyarakat pada distrik Lambewi dan Agandume memiliki  aktivitas bertani, beternak dan berburu seperti  masyarakat di Kab. Puncak lainnya. selain dari alam masyarakat memperoleh bahan makanan  (sembako), mereka   harus menempuh perjalanan jauh ke distrik Sinak, kurang lebih 36 jam berjalan kaki.

Masyarakat tradisional di distrik Lambewi dan Agandugume sebelumnya tidak tergantung pada sembako, melainkan alam. Makanan dari alam seperti: ubi jalar, kubis, kentang. kacang, dan kelapa utang. Makanan ini, mereka tanam sendiri untuk konsumsi sehari-hari. Akibat pemekaran wilayah baru, operasi militer, pembangunan infrastruktur yaitu ketergantungan masyarakat terhadap  beras, gula-kopi, dan lain-lain (sembako). Masalah ini, berawal sejak Aneksasi (1963) Papua oleh Indonesia. Pada umumnya laki-laki dan perempuan  bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. secara kolektif  mereka bekerja mengelola kebun, merawat anak dan menjaga tanah leluhur. Posisi perempuan dalam masyarakat sangat dihormati, sebagai subjek dari suku, dan kodratnya yaitu melahirkan dan menyusui anak. Kondisi sosial ini menjelaskan, jika ada pemerkosaan terhadap perempuan, maka, pemerkosa merendahkan martabat suku/komunitas.

Mengapa ada konflik bersenjata di Puncak Papua?

Sejarah pulau Papua dijajah oleh Indonesia pada 1 Mei 1963, Aneksasi. Aneksasi adalah proses penggabungan paksa suatu wilayah atau bangsa. Penyerahan wilayah Papua kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 1 Mei 1963 dilakukan sesuai kesepakatan bersama antara Indonesia, Belanda, Amerika Serikat pada 15 Agustus 1962 di New York agreement. Dalam pertemuan tersebut sepakati, dalam satu tahun kemudian (1963) dilakukan peralihan kekuasaan administrasi pemerintahan di Papua dari otoritas pemerintahan sementara Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) kepada pemerintah Indonesia. Sebelum aneksasi Papua, Indonesia melakukan operasi militer, Tri Komando Rakyat (TRIKORA). TRIKORA dikumandangkan pada 19 Desember 1961, di Alun-Alun Yogyakarta, oleh presiden RI Ir.Soekarno, yang isinya sebagai berikut: pertama, gagalkan  pembentukan Negara Papua buatan Belanda. Kedua, kibarkan bendera merah putih di seluruh Tanah Papua. Ketiga, bersiaplah untuk mobilisasi umum di tanah Papua,kemudian operasi militer dilakukan pada tahun 1962.

Selain, Operasi TRIKORA terdapat 15 operasi militer indonesia di tanah Papua yaitu; operasi wisnumurti I dan II (1963-1964), operasi Wisnumurti III dan IV (1964-1966), Operasi Bratayudha (1966), Operasi Bharatayuda dan Wibawa (1968), Operasi Pamungkas (1970-1974), Operasi Kikis (1977-1978), operasi sapu bersih (1978-1982), operasi Sate (1984), operasi Gelak I (1985-1986),  operasi Galak II (1986-1987), operasi Kasuari I dan II  (1987-1989) operasi Rajawali (1989-1991), operasi pengamanan daerah rawan (1998-1999), operasi pengendalian pengibaran bendera Bintang Kejora (1999-2002), operasi penyisiran di Wamena (2002-2004). Operasi militer, perampasan lahan, pemerkosaan, intimidasi, pembunuhan ialah praktik penjajahan yang terjadi di Papua. Militer Indonesia dengan kekuatan bersenjata meloloskan kepentingan perampasan lahan. Hal ini menjadi alasan masyarakat mengkonsolidasikan diri untuk melawan pendudukan paksa Indonesia, melalui gerakan bersenjata. Wilayah Puncak Papua sebagai tempat Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB).

Dampak dari operasi militer Indonesia di atas, mengakibatkan ratusan ribu rakyat Papua kehilangan nyawa, puluhan ribu rakyat papua mengungsi ke hutan dan ke PNG, kehilangan harta benda dan rumah disertai intimidasi, pemerkosaan, teror,  dan penangkapan yang  terjadi terhadap rakyat Papua. Dampak operasi militer di atas juga mengakibatkan banyak perempuan kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian, melahirkan dan menyusui anak di hutan, dan mengalami pemerkosaan  dan penyiksaan hingga berujung penghilangan nyawa secara paksa oleh militer indonesia. Salah satu kasus pemerkosaan dan intimidasi yang terjadi, pada 8 April 2021 di distrik Agandugume ialah praktik kekerasan militer. Trauma, luka fisik, rasa tidak berdayah menjadi  beban seumur hidup bagi korban. Kasus ini, menimbulkan perlawanan dari masyarakat setempat. Bagi masyarakat setempat pemerkosaan dan intimidasi sama halnya dengan menginjak hak dan martabat.

Komisi Nasional  Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS PEREMPUAN) merilis 10 hak dasar perempuan Papua yang dilindungi konstitusi dan undang-undang.  10 hak dasar tersebut yaitu: Hak bebas dari kekerasan dan penyiksaan, hak atas kemudahan dan perlakuan khusus, hak atas kepastian hukum keadilan dan reparasi, hak atas kehidupan yang layak, hak atas lingkungan hidup yang berkelanjutan, hak atas kesehatan dan pemulihan, hak atas pendidikan dan profesi, hak berpartisipasi  dalam pengambilan keputusan, hak perempuan dalam adat, hak perempuan dalam pembela HAM. Kasus ini menunjukan negara menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan Papua.

Penutup
Kekerasan militer terhadap perempuan Papua khususnya kab. Puncak akan terus berlanjut selama operasi militer masih terjadi. Alternative pembebasan dari kekerasan militer Indonesia terhadap rakyat Papua yaitu; harus kembalikan hak dan kebebasan oleh negara.