IPMNI: Menilai Sidang Pelaku Kasus Pembunuhan dan Mutilasi Empat Warga Sipil Nduga di Timika Tidak Memuaskan
Perwakilan Mahasiswa IPMNI Se-Indonesia, Wilayah Indonesia Barat, Kota Studi Surabaya-Malang, Usai Pembacaan Sikap Bersama, Surabaya, (19/1/2023). (Foto IPMNI Surabaya). |
Yogyakarta, Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Nduga (IPMNI) Se-Indonesia, Wilayah Indonesia Barat,secara serentak melakukan aksi protes di beberapa kota antara lain Yogyakarta, Semarang-Salatiga, Surabaya-Malang, Bali atas sidang kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga sipil Nduga di Mimika, Papua, Tengah, pada 22 Agustus lalu. Sidang perkara kasus pembunuhan dan mutilasi bagi para pelaku digelar di dua kota berbeda Surabaya dan Jayapura, Kamis (19/1/2023)
Perencanaan, penembakan dan mutilasi empat warga sipil Nduga pada 22 Agustus 2022 atas nama Alm. Arnold Lokbere, Alm. Irian Nirigi, Alm. Lemanion Nirigi dan Alm. Atis Tini dilakukan secara sadar, terencana dan sistematis. Hingga kini sepuluh orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka, enam diantaranya merupakan prajurit TNI aktif dari kesatuan Detasemen Markas (Denma) Brigade Infanteri 20/IMA Jaya Keramo Kostrad.
Terdakwa enam prajurit tentara nasional Indonesia (TNI) yang disidangkan yakni Kapten (Inf) Dominggus Kainama, Prajurit Satu (Pratu) Rahmat Amin Sese, Pratu Robertus Putra Clinsman, Pratu Rizky Oktav Muliawan, dan Prajurit Kepala Pargo Rumbouw diadili melalui pengadilan militer III -19 Jayapura, Papua.
Sedangkan, Mayor (Inf) Helmanto Fransiskus Dakhi diadili melalui Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya, Jawa Timur. Untuk empat tersangka sipil berkas perkaranya masih belum dilimpahkan ke pengadilan umum. Proses persidangan pelaku, militer sudah berlangsung sejak tahap perdana digelar pada tanggal 12 sampai 14 Desember 2022 di Jayapura dengan agenda pemeriksaan oknum pelaku, pemeriksaan saksi korban, penjualan Senjata Api.
Pada tahap selanjutnya tanggal 16-17 januari Pemeriksaan tersangka Mayor Hermanto Fransiskus Dakhi dan persidangan lanjutan pada tanggal 19 Januari 2023. Dalam siaran pers koalisi masyarakat sipil untuk penegakan hukum dan HAM pada 16 Januari 2023 menyebutkan ada beberapa hal yang berjalan serampangan dan terkesan melindungi pelaku TNI.
Diantaranya persidangan tidak akuntabel, transparan, pelaku yang berlatar belakang pangkat Mayor didakwa tidak cermat, menggunakan Pasal 480 KUHP dan dauh dari harapan Keluarga korban. Sejak awal kami mahasiswa telah menyatakan bahwa segala proses hukum harus dilakukan secara transparan dan terbuka untuk umum. Sesuai dengan permintaan keluarga juga proses hukum harus dilakukan di Timika, entah itu pelaku sipil maupun militer.
Belajar dari berbagai kasus yang ditangani oleh pengadilan militer selama ini dilakukan secara tertutup dan tidak transparan. Pada pengadilan HAM juga mengalami persoalan yang sama, sebut saja kasus Biak berdarah (1998), Paniai berdarah (2014), Wasior berdarah (2001) dan kasus lainya. Yang lebih parahnya lagi pada kasus Paniai berdarah tersangka Isak Sattu divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan HAM di Makassar, Kamis 8 Desember 2022 silam.
Dari proses-proses ini kita melihat bahwa negara dengan sengaja melakukan pembiaran dan tidak memiliki niat baik menyelesaikan masalah ini. Melihat proses persidangan sejak awal berlangsung lambat, tertutup, tidak transparan, tidak akuntabel dan cenderung melindungi para pelaku, maka IPMANISe-Indonesia, Wilayah Indonesia Barat, tergabung bersama keluarga korban . Menyatakan dengan tegas.
Pertama, menolak terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Dakhi didakwa menggunakan pasal 480 KUHP oleh Orditurat Tinggi Berdasarkan Informasi SIPP. Hal ini sangat cacat hukum, karena susunan dan struktur dakwaan ini kami anggap sangat problematis, sebab menaruh pasal 480 ke-2 KUHP tentang penadahan dengan hukuman maksimal 4 tahun penjara sebagai dakwaan primer adalah merusak harkat dan martabat kemanusiaan orang Papua.
Kedua, Hakim Militer Tinggi III Surabaya dan Orditurat Tinggi Makassar sangat tidak cermat menjalankan proses persidangan dan terkesan melindungi pelaku. Kami juga menolak segala bentuk upaya meringankan beban pelaku oleh pihak mana pun selama persidangan berlangsung.
Ketiga, Setiap pelaku wajib diberikan hukuman yang setimpal dengan menggunakan pasal yang sesuai yaitu pasal 340 KUHP (terencana, terstruktur, dan sistematis). Mahkamah Agung segera mencabut dan mengontrol dakwaan-dakwaan manipulatif yang terjadi pada persidangan.